Selamat datang dan bergabung dengan Ikbal Bahua Kreatif

Raih masa depan dengan mengedepankan Agama, Etika, Moral, Budaya, IPTEKS dan Kinerja pada setiap Perjalanan Aktivitas Hidupmu

PENYULUHAN PEMBANGUNAN DAN MASA DEPAN BANGSA

SOLUSI MEMBANGUN DAN MEMBERDAYAKAN MASYARAKAT : PERTANIAN, SOSIAL DAN KEMANUSIAN, EKONOMI, POLITIK, PENDIDIKAN, HUKUM, AGAMA DAN BUDAYA DALAM MENGISI ERA REFORMASI DENGAN IPTEKS DAN KEMANDIRIAN SERTA SEMANGAT KERJA.

Saturday, April 18, 2009

PEMBANGUNAN KETAHANAN PANGAN DI ERA OTONOMI DAERAH

Oleh : Mohamad Ikbal Bahua

Pangan merupakan komoditas penting dan strategis bagi bangsa Indonesia mengingat pangan adalah kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi oleh pemerintah dan masyarakat secara bersama-sama seperti diamanatkan oleh Undang Undang Nomor 7 tahun 1996 tentang pangan. Dalam Undang-Undang tersebut disebutkan Pemerintah menyelenggarakan pengaturan, pembinaan, pengendalian dan pengawasan, sementara masyarakat menyelenggarakan proses produksi dan penyediaan, perdagangan, distribusi serta berperan sebagai konsumen yang berhak memperoleh pangan yang cukup dalam jumlah dan mutu, aman, bergizi, beragam, merata, dan terjangkau oleh daya beli mereka.
Departemen Pertanian sebagai lembaga yang terkait langsung dengan masalah ketahanan pangan secara teknis, mempunyai visi dan misi dalam membangun ketahanan pangan. Visi pembangunan ketahanan pangan adalah terwujudnya ketahanan pangan yang berbasis sumberdaya nasional secara efisien dan berkelanjutan menuju masyarakat yang sejahtera. Selanjutnya misi pembangunan ketahanan pangan adalah meningkatkan keberdayaan dan kemandirian masyarakat/petani untuk membangun ketahanan pangan berbasis sumberdaya lokal, melalui pengembangan sistem dan usaha agribisnis yang berdaya saing, berkelanjutan, berkerakyatan dan terdesentralisasi (Badan Bimas Ketahanan Pangan, 2001).
Masalah krisis pangan dan gizi di Indonesia seharusnya dapat ditanggulangi secara mendasar dan berkesinambungan melalui program pengembangan produksi dalam pemanfaatan sumber daya hasil pertanian pangan lokal, dengan cara meningkatkan pemberdayaan industri pangan dan masyarakat petani. Peraturan Pemerintah No.68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan sebagai peraturan pelaksanaan UU No.7 tahun 1996 menegaskan bahwa untuk memenuhi kebutuhan konsumsi yang terus berkembang dari waktu ke waktu, upaya penyediaan pangan dilakukan dengan mengembangkan sistem produksi pangan yang berbasis pada sumber daya, kelembagaan, dan budaya lokal, mengembangkan efisiensi sistem usaha pangan, mengembangkan teknologi produksi pangan, mengembangkan sarana dan prasarana produksi pangan dan mempertahankan dan mengembangkan lahan produktif.
Program pembangunan ketahanan pangan yang dilaksanakan secara Nasional melalui Badan Ketahanan Pangan bertujuan untuk memberdayakan Aparat dan Masyarakat agar mampu memaksimalkan pemanfaatan sumber daya serta dapat mengatasi kendala dalam mewujudkan ketahanan pangan yaitu dengan cara: (1)Memantapkan ketrsediaan pangan dengan memaksimalkan sumberdaya yang dimiliki secara berkelanjutan, (2) Memantapkan kelancaran distribusi pangan untuk menjamin stabilitas pasokan pangan secara merata dan terjangkaunya daya akses pangan masyarakat, (3) Meningkatkan percepatan diversifikasi konsumsi pangan, (4)Mencegah dan menanggulangi kerawanan pangan.
Dampak krisis ekonomi yang berkepanjangan disertai dengan tuntutan lingkungan strategis baik domestik maupun internasional mendorong adanya perubahan paradigma pembangunan nasional termasuk pembangunan pertanian. Perubahan paradigma pembangunan tersebut antara lain tercermin dari dirumuskannya paradigma baru dalam pemantapan ketahanan pangan.
Perubahan paradigma ketahanan pangan ini mengidikasikan adanya pemahaman bersama antara pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta dalam memenuhi ketahanan pangan nasional, yang berbasis pada peningkatan ketersediaan pangan dan daya beli masyarakat. Pendekatan yang sangat diperlukan untuk membangun ketahanan pangan yaitu dengan mengembangkan komoditas pangan lokal yang dapat membantu masyarakat lokal dalam memenuhi pangan secara berkesinambungan terutama untuk kebutuhan pangan rumah tangga. Hal ini perlu ditunjang oleh kerjasama antar sektor, antara lain sektor pertanian, sektor industri, sektor perbankan dan koperasi, sektor tenaga kerja, dan sektor perdagangan/pemasaran. Karena melalui kerjasama antar sektor tersebut masyarakat dapat mengakses ketersediaan pangan baik secara nasional maupun daerah.

KONSEP KETAHANAN PANGAN
Ketahanan pangan merupakan suatu konsep yang berkembang dari sederhana, luas, dan kualitatif menjadi lebih tegas, spesifik, dan lebih kuantitatif. Definisi ketahanan pangan yang telah diterima secara luas adalah acces for all people at all times to enough food for an active and healthy life. Maknanya adalah tiap orang setiap saat memiliki akses secara fisik dan ekonomi terhadap pangan yang cukup agar hidup sehat dan produktif. Undang Undang Nomor 7 tahun 1996 menjelaskan bahwa, ketahanan pangan merupakan kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau.
Kurniawan (2007) mengungkapkan bahwa, ketahanan pangan dapat diartikan sebagai sebagai suatu kondisi ketersediaan pangan yang cukup bagi setiap orang dan setiap individu mampu memperolehnya. Dalam konsep ketahanan pangan terdapat tiga topik yang perlu untuk dibahas berhubungan dengan rencana aksi pemantapan ketahanan pangan pemerintah Indonesia, yaitu 1) kecukupan pangan, 2) Kemandirian pangan, dan 3) kedaulatan pangan. Kecukupan pangan adalah suatu kondisi pada suatu negara yang cukup akan jumlah pangan, mutu baik, mudah diperoleh, aman dikonsumsi, dan harga terjangkau. Sedangkan kemandirian pangan adalah keadaan dimana suatu negara dapat memenuhi kebutuhan pangan dengan produk senrdiri (negara tersebut). Serta kedaulatan pangan adalah Suatu penentuan yang dilakukan oleh suatu negara atas pangan untuk negaranya sendiri.
Subeno (2005) menjelaskan bahwa, basis konsep ketahanan pangan nasional adalah ketahanan pangan di tingkat rumah tangga, terutama di pedesaan. Proporsi pengeluaran rumah tangga terhadap bahan pangan merupakan salah satu indikator ketahanan pangan di tingkat rumah tangga. Makin besar pangsa pengeluaran rumah tangga terhadap bahan pangan menunjukkan kian rendah ketahanan pangan rumah tangga tersebut. Secara agregat atau makro pangsa pengeluaran tersebut sejak 1980 hingga 2000 terus menurun. Jika pada tahun 1980 pangsa pengeluaran rumah tangga terhadap bahan pangan sekitar 70%, maka pada tahun 1990 telah turun menjadi 57%. Pada tahun 2000 angkanya kembali mengalami penurunan menjadi kurang dari 50%. Besar pangsa pendapatan rumah tangga yang digunakan untuk konsumsi pangan menunjukkan harta atau kekayaan lain yang dimiliki dan dapat dipertukarkan untuk memperoleh satu satuan bahan pangan juga kecil.
Syahyuti (2006) berpendapat bahwa, ketahanan pangan hanyalah satu elemen dari sistem sosial suatu kelompok masyarakat secara keseluruhan. Karena itu, jika kesadaran tentang ketahanan pangan telah menjiwai kebijakan pemerintah, maka akan terlihat dari kebijakan baik di bidang ekonomi, politik, lingkungan, maupun sosial dan budaya masyarakat tersebut. Intinya sistem dan seluruh kelembagaan dalam masyarakat harus memiliki visi untuk mencapai ketehanan pangan. Untuk mencapau visi ketahanan pangan tersebut di perlukan tiga dimensi ketahanan pangan, yaitu: dimensi ketersediaan (availability), dimensi akses (access), dan dimensi pemanfaatan (utilization).
Berdasarkan berbagai konsep tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa ketahanan pangan (food securiry) merupakan kondisi tersedianya pangan dalam jumlah dan kualitas yang cukup untuk kebutuhan masyarakat yang dapat diakses dengan mudah berdasarkan kemampuan daya beli masyarakat serta terdistribusi mereta di semua tingkatan wilayah dan strata masyarakat.

PEMBANGUNAN KETAHANAN PANGAN DAN OTONOMI DAERAH
Pembangunan ketahanan pangan tidak dapat dilepaskan dari otonomi daerah. Kedua hal ini sangat diperlukan untuk menunjang keberadaan pangan sampai ketingkat rumah tangga masyarakat. Dalam era otonomi daerah peranan daerah otonom sangat penting untuk meningkatkan stok pangan lokal. Daerah otonom harus mampu untuk menyediakan stok pangan yang cukup bagi seluruh rakyatnya. Jika daerah tersebut merupakan daerah miskin maka tugas bupati atau walikota setempatlah yang harus bertanggung jawab mengatasi dan mencarikan jalan keluarnya. Sistem ketahanan pangan sudah didesentralisasikan keseluruh daerah otonom yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. Kebijakan ini diimbangi dengan desentralisasi 85 persen anggaran Departemen Pertanian ke daerah-daerah otonom, dan sisanya untuk operasional pemerintah pusat. Peranan pusat hanya membuat kebijakan-kebijakan strategis dan bersifat normatif, sedangkan implikasi teknis dilapangan diserahkan ke pemerintah daerah otonom. Hal ini karena daerah sebagai basis keberadaan masyarakat yang berdinamika secara terus-menerus tentunya harus memikirkan secara lokal ketahanan pangan rakyatnya, sehingga rakyat tidak sulit mendapatkan pangan untuk menyambung hidupnya yang selalu berdinamika.
Nainggolan (2008) menjelaskan bahwa, otonomi daerah memberikan keleluasaan dalam menetapkan prioritas pembangunan masing-masing daerah, diantaranya melalui pembangunan ketahanan pangan dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut: (1) Melibatkan peran aktif seluruh stakeholders di bawah koordinasi DKP (Dewan Ketahanan Pangan), (2) Melaksanakan program pembangunan yang secara langsung memberikan manfaat kepada masyarakat, (3) Mengembangkan kerjasama antar daerah dan antara daerah dengan pusat, dan (4) Mempertahankan lahan produktif dan suplai air untuk pertanian
Waluyo (2007) menyatakan bahwa, permasalahan fundamental yang dihadapi oleh daerah otonom untuk ketahanan pangan antara lain: (1) Kurangnya pemahaman daerah terhadap pentingnya ketahanan pangan. Dampaknya kebijakan pangan bukan merupakan kebijakan yang perlu mendapatkan prioritas. Daerah lebih mementingkan kebijakan untuk meningkatkan PAD-nya daripada kebijakan ketahanan pangan. Hal ini disebabkan oleh peningkatan PAD merupakan salah satu indikator keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah di samping peningkatan PDRB. Tetapi tanpa disadari ancaman bahaya gizi buruk dan kelaparan setiap saat dapat dialami masyarakat. (2) Kekurang pahaman daerah dalam menatalaksanakan peruntukan lahannya. Transformasi perekonomian nasional dari agraris menuju keunggulan industri manufaktur membutuhkan lahan untuk sektor industri yang sangat banyak. Hal ini diimbangi oleh giatnya daerah dalam berkampanye untuk menarik investor. Penatalaksanaan lahan yang kurang tepat akan berdampak terhadap semakin berkurangnya lahan-lahan produktif untuk pertanian, sehingga lahan pertanian semakin terpinggirkan dan menempati lahan-lahan marginal. (3) Kondisi obyektif di masing-masing daerah menunjukkan bahwa tidak semua daerah mempunyai lahan yang cocok untuk kegiatan pertanian. Sehingga pada daerah yang tidak mempunyai lahan yang cocok harus melakukan intensifikasi pertanian dan melakukan pembelian produk pangan melalui perdagangan antar daerah.
Strategi yang perlu dijalankan oleh pemerintah dalam membangun ketahanan pangan di era otonomi daerah yaitu: (1) Memperlancar pasokan dan memfasilitasi keterjangkauan masyarakat terhadap pangan, (2) Memproteksi sistem ekonomi dalam negeri/daerah dari persaingan yang kurang menguntungkan khususnya tekanan perdagangan global, dan (3) mengembangkan strategi dengan justifikasi yang tepat, sehingga tidak bertentangan dengan kaidah organisasi perdagangan internasional yang telah disepakati.
Secara mikro kebijakan yang perlu ditempuh oleh pemerintah daerah dalam pemenuhan pangan masyarakat antara lain: (1) Dipertahankannya ketersediaan energi perkapita minimal 2.200 Kilokalori/hari, dan penyediaan protein perkapita minimal 57 gram/hari, (2) Meningkatkan kemampuan pemanfaatan dan konsumsi pangan perkapita untuk memenuhi kecukupan energi memimal 2.000 Kilokalori/hari dan protein sebesar 52 gram/hari, (3) Meningkatkan kualitas konsumsi pangan masyarakat dengan skor Pola Pangan Harapan (PPH) minimal 80, (4) Meningkatkan keamanan, mutu dan higiene pangan yang dikonsumsi masyarakat, (5) Mengurangi jumlah penduduk yang rawan pangan kronis (yang mengkonsumsi kurang dari 80% AKG) dan penduduk miskin minimal 1 persen per tahun, (6) Tertanganinya secara cepat penduduk yang mengalami rawan pangan transien di daerah karena bencana alam dan bencana sosial, dan (7) meningkatkan rata-rata penguasaan lahan petani.

PENUTUP
Pemerintah dalam membangun ketahanan pangan di era otonomi daerah, perlu melibatkan masyarakat secara partisipatif pada setiap perencanaan pembangunan khususnya pembangunan ketahanan pangan wilayah, karena dengan melibatkan masyarakat secara partisipatif maka pemerintah dapat secara pasti dan pro aktif mengetahui masalah kekurangan pangan di setiap individu masyarakat dan secara langsung menumbuh kembangkan dan sekaligus memelihara tradisi penyediaan lumbung pangan yang pernah ada, baik secara individu maupun secara kolektif, untuk mencadangkan pangannya bagi keberlanjutan kehidupannya.
Upaya tersebut antara lain dengan melakukan sosialisasi yang bersifat memberikan suatu pemahaman agar terbentuk suatu perilaku masyarakat, misalnya, pemahaman bahwa mengandalkan sepenuhnya pemenuhan pangan pokok lewat pasar bebas adalah riskan, karena masalah pangan bisa muncul kapan saja. Dapat pula dengan upaya melakukan program aksi pemberdayaan yang bersifat sebagai stimulan seperti program revitalisasi lumbung pangan masyarakat.
Secara struktur/kelembagaan, dalam rangka pengembangan cadangan pangan pemerintah diusulkan pembagian peran dimana pemerintah pusat tetap mengelola cadangan pangan beras, sedangkan pemerintah daerah mengelola cadangan pangan non beras sesuai dengan makanan pokok masyarakat setempat. Selain itu perlu mempertahankan sistem sentralistik dalam pengelolaan cadangan pangan beras oleh pemerintah pusat. Diperlukan pula pembagian peran dimana pemerintah pusat mengelola stok operasi, stok penyangga dan pipe line stock, sedangkan pemerintah daerah mengelola reserve stock yang diperuntukkan untuk keperluan darurat seperti bencana alam, dan konflik sosial yang tidak bersifat nasional. Usul lainnya adalah dilakukan pendekatan terdesentralisasi (bukan terpusat) dalam mekanisme penyaluran stok beras untuk keadaan darurat. Ini dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi melalui pengurangan koordinasi, pemotongan jalur birokrasi, pendistribusian tugas dan wewenang, dan sekaligus pendistribusian beban biaya di antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Referensi ada dalam bentuk file....
Tulisan ini telah dimuat dalam Jurnal Pangan Nasional Edisi Maret 2009 (BULOG-RI)

1 comment:

Anonymous said...

saya sangat setuju dengan tulisan bapak...saya minta tolong pak, bisa ngak pak referensi buku mengenai ketahanan pangan dikirim ke email saya di resmanbudi@rocketmail.com....karena referensi buku mengenai ketahanan pangan sangat sedikit di toko2 buku...atas bantuan bapak saya ucapkan terima kasih