Selamat datang dan bergabung dengan Ikbal Bahua Kreatif

Raih masa depan dengan mengedepankan Agama, Etika, Moral, Budaya, IPTEKS dan Kinerja pada setiap Perjalanan Aktivitas Hidupmu

PENYULUHAN PEMBANGUNAN DAN MASA DEPAN BANGSA

SOLUSI MEMBANGUN DAN MEMBERDAYAKAN MASYARAKAT : PERTANIAN, SOSIAL DAN KEMANUSIAN, EKONOMI, POLITIK, PENDIDIKAN, HUKUM, AGAMA DAN BUDAYA DALAM MENGISI ERA REFORMASI DENGAN IPTEKS DAN KEMANDIRIAN SERTA SEMANGAT KERJA.

Thursday, October 3, 2013

MAMPUKAH KOPERASI UNIT DESA BERPERAN MENSEJAHTERAKAN NASIB PETANI DI PEDESAAN

Oleh: Mohamad Ikbal Bahua


Koperasi merupakan salah satu bentuk kelembagaan di antara sekian banyak kelembagaan yang berperan dalam pengembangan sektor pertanian. Menurut Baga (2004), mempunyai dua ciri indentitas, yaitu adanya anggota koperasi yang merupakan owner sekaligus custumer dari lembaga koperasi. Hal ini terlihat pada unit usaha ekonomi yang di miliki dan di awasi secara demokratis dengan satu tujuan yaitu melayani kebutuhan anggota.
Koperasi Unit Desa (KUD) adalah organisasi yang berbentuk sosial ekonomi dan merupakan wahana masyarakat pedesaan untuk mencapai harapan dalam meningkatkan kesejahteraan hidup, pada tataran sosial, ekonomi, dan budaya. Koperasi Unit Desa (KUD) merupakan lembaga ekonomi yang dapat membatu petani dalam pengadaan sarana produksi pertanian, permodalan dan menjamin pemasaran produksi pertanian yang penyelenggaraannya berdasarkan sistem demokrasi dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat. Berdasarkan hal tersebut, maka KUD adalah wahana para petani mencapai harapan agar dapat meningkatkan hasil produksi pertanian sekaligus meningkatkan kesejahteraan hidup petani di pedesaan.
Sejarah kelahiran dan berkembangnya koperasi di negara maju (barat) dan negara berkembang memang sangat diametral. Di barat koperasi lahir sebagai gerakan untuk melawan ketidakadilan pasar, oleh karena itu koperasi tumbuh dan berkembang dalam suasana persaingan pasar. Bahkan dengan kekuatannya itu koperasi meraih posisi tawar dan kedudukan penting dalam konstelasi kebijakan ekonomi termasuk dalam perundingan internasional. Peraturan perundangan yang mengatur koperasi tumbuh kemudian sebagai tuntutan masyarakat koperasi dalam rangka melindungi dirinya. Di negara berkembang koperasi dirasa perlu dihadirkan dalam kerangka membangun institusi yang dapat menjadi mitra negara dalam menggerakkan pembangunan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu kesadaran antara kesamaan dan kemuliaan tujuan negara dan gerakan koperasi dalam memperjuangkan peningkatan kesejahteraan masyarakat ditonjolkan di negara berkembang, baik oleh pemerintah kolonial maupun pemerintahan bangsa sendiri setelah kemerdekaan. Berbagai peraturan perundangan yang mengatur koperasi dilahirkan dengan maksud mempercepat pengenalan koperasi dan memberikan arah bagi pengembangan koperasi serta dukungan/perlindungan yang diperlukan.
Di Indonesia pengenalan koperasi memang dilakukan oleh pemerintah, bahkan sejak pemerintahan penjajahan Belanda telah mulai diperkenalkan. Gerakan koperasi sendiri mendeklarasikan sebagai suatu gerakan sudah dimulai sejak tanggal 12 Juli 1947 melalui Kongres Koperasi di Tasikmalaya. Pengalaman di tanah air kita lebih unik karena koperasi yang pernah lahir dan telah tumbuh secara alami di jaman penjajahan, kemudian setelah kemerdekaan diperbaharui dan diberikan kedudukan yang sangat tinggi dalam penjelasan undang-undang dasar.
Shankar et al., (2002) menjelaskan bahwa secara khusus pemerintah memerankan fungsi “regulatory” dan “development” secara sekaligus, dimana ciri utama perkembangan koperasi di Indonesia adalah dengan pola penitipan kepada program yaitu: (1) Program pembangunan secara sektoral seperti koperasi pertanian, koperasi desa, KUD; (2) Lembaga-lembaga pemerintah dalam koperasi pegawai negeri dan koperasi fungsional lainnya; dan (3) Perusahaan baik milik negara maupun swasta dalam koperasi karyawan. Sebagai akibatnya prakarsa masyarakat luas kurang berkembang dan kalau ada tidak diberikan tempat semestinya.
Menurut Sharma (Noer Soetrisno, 2001), selama ini “koperasi” dikembangkan dengan dukungan pemerintah dengan basis sektor-sektor primer dan distribusi yang memberikan lapangan kerja terbesar ba­gi penduduk Indonesia. Contoh sebagian besar KUD sebagai koperasi program di sektor pertanian di dukung dengan program pem­bangunan untuk membangun KUD. Di sisi lain pemerintah memanfaatkan KUD untuk mendukung program pembangunan pertanian untuk swasembada beras seperti yang se­lama PJP I. Bahkan koperasi secara eksplisit ditugasi melanjutkan program yang kurang berhasil ditangani langsung oleh pemerintah bahkan bank pemerintah, seperti penyaluran kredit BIMAS menjadi KUT, pola pengadaan beras pemerintah dan lain-lain, sehingga nasib koperasi harus memikul beban kegagalan program, sementara koperasi yang berswadaya praktis tersisihkan dari perhatian berbagai kalangan termasuk para peneliti dan media masa.
Secara historis pengembangan koperasi di Indonesia yang digerakan melalui dukungan kuat program pemerintah yang telah dijalankan dalam waktu lama, dan tidak mudah ke luar dari kungkungan pengalaman tersebut. Jika semula ketergantungan terhadap captive market program menjadi sumber pertumbuhan, maka pergeseran ke arah peran swasta menjadi tantangan baru bagi lahirnya pesaing-pesaing usaha terutama KUD. Meskipun KUD harus berjuang untuk menyesuaikan dengan perubahan yang terjadi, namun sumbangan terbesar KUD adalah keberhasilan peningkatan produksi pertanian terutama pangan, di samping sumbangan dalam melahirkan kader wirausaha di pedesaan.
Koperasi Unit Desa (KUD) pada awal terbentuknya mempunyai visi, yaitu sebagai soko guru perekonomian bangsa dengan menganut pola usaha bersama untuk mensejahterakan masyarakat, karena ide dasar pembentukan koperasi sering dikaitkan dengan pasal 33 UUD 1945, khususnya Ayat 1 yang menyebutkan bahwa "Perekonomian di susun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan." Dalam Penjelasan UUD 1945 itu dikatakan bahwa bangun usaha yang paling cocok dengan asas kekeluargaan itu adalah koperasi.
Strategi pola pengembangan KUD mencirikan bahwa masyarakat Indonesia yang umunya tinggal di pedesaan dan sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani, hidup dalam kebersamaan ekonomi, sosial dan budaya untuk mencapai kesejahteraan hidupnya.  KUD yang merupakan wadah petani di pedesaan untuk memenuhi pengadaan sarana produksi pertanian, permodalan dan pemasaran hasil pertanian pada kenyataannya tidak seindah visi yang dikemukakan, karena petani di pedesaan umumnya terjerat oleh sistem ijon yang setiap saat dapat merugikan usahatani mereka. Sistem ijon sudah merupakan wadah petani di pedesaan untuk mendapatkan biaya produksi usahatani, walaupun petani itu sendiri menyadari bahwa sistem ijon itu mereka tidak dapat memenuhi harapan ekonomi keluarganya secara berkelanjutan.  
KUD merupakan satu pilar dari pengembangan ekonomi di pedesaan, pada umumnya tidak dapat memenuhi harapan petani, karena regulasi (UU Nomor 25 tahun 1992) yang dikeluarkan oleh pemerintah dan DPR lebih berpihak kepada kapitalis. Menurut Widiyanto (1998), pada UU Nomor 25 tahun 1992 secara tersirat bermakna bahwa koperasi diberi peluang untuk bertindak sebagai sebuah perusahaan yang memaksimalisasikan keuntungan. Dengan adanya UU Nomor 25 tahun 1992, seolah-seolah koperasi merupakan lembaga yang menjadi benalu dalam kehidupan petani di pedesaan. Petani semakin sulit untuk mendapatkan sarana produksi pertanian dan tidak mempunyai akses pasar yang jelas untuk memasarkan hasil produksinya.
Secara regulasi tentunya pemerintah dan DPR sudah memikirkan dan merumuskan bahwa KUD dapat menjembatani kesejangangan ekonomi para petani di pedesaan, karena telah banyak memberikan perhatian dari segi modal usaha, baik berupa dana bergulir, dana hibah sampai dengan pinjaman bank yang diwujudkan melalui pemberian kredit lunak pada pengembangan teknologi tepat guna di bidang pertanian, peternakan dan perikanan.
Pertanyaannya, mengapa kehidupan petani di Indonesia masih tetap saja tidak memperlihatkan kemajuan dan peningkatan kehidupan ekonomi yang signifikan dengan berbagai regulasi dari pemerintah di bidang KUD tersebut? Pertanyaan ini perlu dijawab dengan menilai, hal-hal sebagai berikut: (1) tingkat partisipasi petani untuk menjadi anggota KUD, (2) kesiapan infra struktur pedesaan untuk mendukung adanya lembaga koperasi, (3) peranan lembaga penyuluhan pertanian dalam memberikan edukasi kepada petani berdasarkan permasalahan yang mereka hadapi, (4) potensi sumber daya manusia untuk mengelola koperasi, dan (5) eksistensi hasil produk pertanian dan kemitraan yang dapat menjamin keberlanjutan penyelenggaraan koperasi unit desa.  
(1)     Tingkat partisipasi petani untuk menjadi anggota KUD, sangat berhubungan dengan pengetahuan, kemauan dan kesempatan petani untuk menjadi anggota KUD. Dari segi pengetahuan, petani tidak terlalu banyak mengetahui fungsi koperasi unit desa untuk pengembangan usahataninya. Petani tidak banyak mendapatkan sosialisasi akan pentingnya KUD dalam melayani kebutuhan sarana produksi, permodalan dan pemasaran hasil pertanian. Petani hanya menerima informasi dalam bentuk program usaha pertanian yang mempunyai jangka waktu pelaksanaannya dan tidak sesuai dengan kemauan mereka. Pada dimensi kemauan sangat berhubungan dengan sikap petani menjadi anggota KUD dan mengikuti program yang dicanangkan oleh KUD. Sikap petani ini diakibatkan oleh manajemen KUD yang tidak berpihak pada petani, terutama petani kecil yang hanya mempunyai lahan untuk kegiatan produksi pertanian skala rumah tangga (subsisten). Sedangkan pada dimensi kesempatan, petani pada umumnya disibukkan dengan pekerjaan rutinitas usahatani, sehingga mereka tidak mempunyai waktu luang untuk mengikuti perencanaan program KUD secara partisipatif, hal ini juga disebabkan oleh pola manajemen KUD yang kurang melibatkan petani dalam perencanaan program KUD secara berkala.
(2)     Kesiapan infra struktur pedesaan sangat menentukan lancarnya implementasi program KUD ke tingkat petani. Seperti: sarana transportasi, sarana komunikasi (media cetak dan elektronik), dan sistem jaringan komputerisasi, masih terbatas di pedesaan, sehingga menyebabkan pelayanan KUD kepada nasabah (petani) masih terbatas.
(3)     Peran lembaga penyuluhan pertanian dalam memberikan edukasi kepada petani berdasarkan permasalahan yang mereka hadapi masih belum menyentuh sendi-sendi kehidupan petani. Penyuluhan pertanian masih terpola pada manajemen topdown, sehingga petani selalu saja tergantung pada program pemerintah yang sering tidak sejalan dengan harapan petani. Lembaga Penyuluhan pertanian melalui sistem pendidikan non formal yang berbasis pada pendidikan orang dewasa diharapkan dapat meningkatkan pemahaman dan keterampilan petani dalam melaksanakan usahatani melalui sistem agribisnis dengan mengembangkan proses adopsi dan difusi teknologi pertanian yang sesuai dengan sumberdaya lokal di tingkat petani, sehingga dapat menunjang kemauan, pengetahuan dan kemampuan petani untuk berpartisipasi dalam program KUD. Melalui peran lembaga penyuluhan pertanian  diharapkan akan tercipta suatu perubahan perilaku petani dalam mengikuti setiap program KUD yang dapat meningkatkan kesejahteraan hidup mereka secara berkelanjutan.
(4)     Potensi sumber daya manusia untuk mengelola koperasi. Koperasi Unit Desa yang penyelenggaraannya bersifat demokratis, dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat tentunya memerlukan potensi sumberdaya manusia yang dapat mengelola KUD sesuai dengan sistem sosial dan ekonomi petani di pedesaan. Pengelolaan KUD perlu diarahkan pada potensi sumberdaya lokal dan sistem usahatani yang ada di tingkat petani. Pola manajemen KUD ini dimaksudkan untuk meningkatkan kepedulian KUD terhadap kebutuhan petani dan tidak mengandalkan pola manajemen keuntungan yang tidak sesuai dengan kondisi petani. Pada dimensi ini alangkah baiknya potensi SDM yang mengelola KUD perlu dilakukan pendidikan dan pelatihan yang berhubungan dengan pengelolaan keuangan, pengelolaan potensi desa, dan pemahaman terhadap perilaku sosial ekonomi petani di pedesaan.
(5)     Eksistensi hasil produk pertanian dan kemitraan. Eksistensi pengelolaan hasil produk pertanian dan kemitraan sangat penting dalam menunjang keberlanjutan penyelenggaraan KUD. Fungsi KUD secara implikasinya dapat membantu petani dalam memasarkan hasil produksi pertanian, untuk itu eksistensi dari hasil produksi pertanian tersebut setiap saat dapat terpenuhi sebagai modal KUD dalam merencanakan program pemasaran hasil pertanian secara kontinyu yang dapat menjamin berbagai pelaku usaha pertanian dalam menerima hasil produksi pertanian di pedasaan secara berkelanjutan. Adanya eksistensi hasil produksi pertanian ini KUD dapat memberikan peluang kepada petani untuk selalu berhubungan atau bermitra dengan pelaku usaha pertanian sesuai dengan tingkat kualitas dan kuantitas dari hasil pertanian. KUD dapat menjembatani hubungan kemitraan tersebut dengan mengandalkan pola manajemen yang berpihak pada petani, hal ini perlu di tempuh dengan menjamin keberlanjutan pasokan hasil produksi pertanian dengan mengharapkan potensi modal usaha dari pelaku usaha. Dengan demikian pola kemitraan yang di bangun melalui KUD adalah hubungan kemitraan dengan pengusaha pertanian yang saling menguntungkan antara pengusaha dengan petani, yang akhirnya berdampak pada pemenuhan ekonomi petani.
Berdasarkan nilai-nilai tersebut di atas, maka KUD diharapkan mampu berperan untuk mensejahterakan petani di pedesaan. Peran KUD tersebut diarahkan pada pengelolaan sumberdaya lokal di pedesaan yang menjadi bahan baku usahatani petani dalam menunjang kehidupan ekonominya. KUD selalu memposisikan diri sebagai organisasi yang setiap saat dapat membantu petani dalam pemenuhan sarana produksi, permodalan dan menjamin ketersediaan akses pasar. KUD diharapkan menjadi lembaga ekonomi pedesaan yang dapat menjembatani kesejangan antara pelaku utama dan pelaku usaha di bidang pertanian secara berkelanjutan.  Dari dimensi pemerintah diharapkan adanya regulasi yang selalu berpihak pada rakyat dengan mengedepankan strategi pembangunan masyarakat yang berwujud pada pembangunan pertanian partisipatif, sehingga petani merasa dihargai dengan potensi yang mereka miliki. Pada segi dimensi petani diupayakan adanya partisipasi dan eksistensi mereka untuk mengikuti atau menjadi anggota KUD secara berkelanjutan dengan segala kelebihan dan kekurangan yang ada, sehingga para petani dapat mengetahui dan memahami arti pentningnya KUD bagi pemenuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraannya. Dari dimensi lembaga penelitian diharapkan adanya hasil-hasil penelitian yang berupa inovasi di bidang teknologi pertanian yang dapat meningkatkan produksi pertanian di pedesaan. Inovasi teknologi pertanian tersebut pada sisi sosial dapat di terima oleh petani, pada sisi ekonomi dapat menguntungkan petani, dan pada sisi teknologi inovasi tersebut dapat dilakukan oleh petani dalam meningkatkan kesejahteraannya. Pada dimensi lembaga pendidikan (Perguruan Tinggi) diharapkan adanya konsep-konsep pemikiran pembangunan pertanian berwawasan agribisnis yang aplikatif melalui hasil penelitian dan pengabdian masyarakat yang secara langsung dapat menyentuh petani di pedesaan. Pada tataran dimensi LSM (NGO) diharapkan adanya advokasi kepada petani yang bermartabat sesuai dengan pola kehidupan sosial masyarakat di pedesaan.  

Referensi: tersedia pada file tersendiri

Wednesday, December 23, 2009

MANUSIA INDONESIA, NASIB DAN PERLINDUNGAN TENAGA KERJA

Oleh: Mohamad Ikbal Bahua

PENDAHULUAN
Studi tentang manusia, seakan tidak pernah usang dari perjalanan kehidupan. Mungkin, itulah kalimat yang paling tepat untuk menggambarkan betapa luasnya cakupan yang dapat dikembangkan dari setiap perbincangan tentang manusia. Dan, mungkin, karena itu pula, topik ini menjadi selalu aktual untuk dibicarakan. Apalagi jika dibumbui dengan berbagai masalah yang menyangkut pemenuhan kebutuhan dasar manusia, sesuai dengan standar universal.
Sedemikian menariknya pembicaraan tentang manusia Indonesia, terutama di tengah-tengah perkembangan global dewasa ini, seringkali dari sana muncul dan berkembang berbagai topik yang secara substansial, sebetulnya tidak berujung pangkal. Tetapi, karena dikemas dalam pemberitaan yang sangat publikatif, maka "omong kosong" itu menjadi "rame" dan menyedot opini publik, untuk akhirnya berkembang menjadi isu yang menuntut perhatian pelbagai kalangan. Bahkan, tidak jarang, perdebatan tidak berujung pangkal itu, berbuntut petentangan horizontal antar kelompok masyarakat. Kecenderungan semacam ini, seakan menjadi model paling up to date dan paling trendy di dalam pergaulan masyarakat bangsa kita akhir-akhir ini. Siapapun orangnya, segera akan dikatakan "puritan", ketinggalan zaman dan tidak berpihak kepada arus global, jika tidak mampu berbicara kritis, keras, dan vulgar dalam setiap penampilan, terlebih jika yang bersangkutan, tidak mampu menempatkan diri sebagai pihak yang selalu berseberangan dengan pemerintah.

Membangun, pada hakekatnya adalah upaya untuk mempersiapkan manusia menghadapi imperatif perubahan. Karena, suka atau tidak suka, dirancang atau tidak dirancang, perubahan akan dihadapi oleh manusia. Perubahan itu terjadi pada diri manusia sendiri, pada lingkungan masyarakat di mana ia berada dan pada tuntutan tuntutan agar ia bisa mempertahankan, menjaga dan meningkatkan survivalnya. Proses dan akibat perubahan itu akan dihadapi oleh semua manusia dan seluruh anggota masyarakat. Ada dua pihhan bagi manusia dalam menghadapi imperatif perubahan ini. Pilihan pertama, membiarkan perubahan itu terjadi sesuai kodratnya dan manusia menerima saja keharusan dan akibat perubahan itu, dan menyerahkan semuanya pada kehendak 'nasib'. Atau, berikhtiar menyongsong perubahan itu dengan tekad untuk tetap bisa menguasai arah, mutu serta terpeliharanya tujuan hidup.
Kita, bangsa Indonesia, berketetapan untuk menghadapi imperatif perubahan itu dengan ikhtiar, melalui upaya pembangunan. Kita ingin agar arah, dinamika dan gejolak yang inherent dalam setiap proses perubahan dapat sejauh mungkin dikuasai dan dikendalikan. Tergantung dinamika internal dan dinamika external yang dihadapi oleh manusia dan masyarakat, perubahan bisa berjalan cepat atau lambat, lebih bergejolak atau kurang bergejolak, arahnya menuju ke sasaran yang lebih maju dan moderen, atau bahkan mundur atau makin terbelakang. Siapa yang bertanggung jawab untuk mengelola perubahan itu, kita sebagai individu, masyarakat atau negara sebagai pengemban amanat rakyat ?

Ada sementara orang termasuk ahli ilmu sosial dan budayawan yang beranggapan bahwa imperatif perubahan itu demikian kompleks dan normatif sifat penilaian¬nya. Sehingga mereka tidak percaya bahwa imperatif perubahan manusia dan masyarakat itu dapat dikendalikan apalagi dikelola oleh lembaga atau orang-orang tujuan di luar individu manusia yang menghadapi perubahan itu sendiri. Arah perubahan yang dihadapi manusia disamping kompleks, berdimensi banyak, juga sangat mungkin bercorak individu. Karenanya tidak layak untuk dicampuri lembaga manapun, termasuk negara, apalagi pemerintah. Karena cara pengelolaan yang demikian akan melahirkan sistem kemasyarakatan yang totaliter dan menindas prakarsa dan kemerdekaan perorangan untuk memilih responsnya sendiri dalam menghadapi perubahan.

Laporan Pembangunan Manusia Indonesia (LPMI) tahun 2004 juga menegaskan, pembangunan manusia Indonesia sebagaian besar masih dibiayai melalui belanja masyarakat, bukan belanja pemerintah. Dibidang kesehatan misalnya, sumbangan pembiayaan pemerintah hanya 20 persen atau kurang setengah angka rata-rata Negara Asia Timur dan Pasifik. Manfaatnya cenderung lebih dirasakan oleh kelompok orang kaya. Pada tahun 2002, 20 persen orang miskin hanya menggunakan 8 persen untuk pelayanan kesehatan dasar dibandinkan 39 persen yang dinikmati oleh 20 persen orang kaya. Angka kematian bayi dikelompok miskin tiga kali lebih tinggi dibanding kelompok kaya. “ketimpangan serupa, walaupun tidak tajam, juga terjadi dibidang pendidikan. Walaupun tujuan nasional yang hendak dicapai dalam pembentukan Negara Indonesia adalah pembangunan manusia Indonesia, tetapi jika hal itu tidak termanifestasikan dalam system aturan kelembagaan, maka sangat wajar apabila kondisi mansuia Indonesia masih di bawah Negara-negara lain dan bahkan masih banyak manusia Indonesia yang miskin, tidak memperoleh rasa aman, mengalami gizi buruk, tidak mampu mengakses pendidikan dan kesehatan. “padahal pada masa Orde Baru telah banyak disusun dan ditetapkan program-program untuk mewujudkan pembagunan manusia Indonesia seutuhnya dan rakyat Indonesia seluruhnya.

Kelemahan utama lainnya, adalah tidak adanya pelaksanaan yang konsisten melalui system atauran dan system kelembagaan yang integral. “Program-program pembangunan manusia yang dilaksanakan, bahkan mungkin juga tujuan nasional hanya menjadi pemanis tanpa disertai implementasi. Untuk dapat melaksanakan pembangunan manusia Indonesia harus dengan kerangka yang tersistem. Segenap system aturan dan kelambagaan harus mendukung upaya pembangunan manusia. ”Sesungguhnya dengan membangun suatu sistem hukum secara konsisten berdasarkan UUD 1945 dengan sendirinya bangsa Indonesia telah melaksanakan pembangunan manusia mengingat tujuan nasional dan dasar filosofis Negara yang berorientasi pada kesejehteraan manusia.

MANUSIA INDONESIA
Pembangunan manusia Indonesia merupakan proses memperbanyak pilihan-pilihan yang dimiliki warga Negara. Pilihan-pilihan itu dimaksud untuk mencapai tingkat kesejahteraan yang dapat diukur dengan kriteria umur panjang dan sehat, penguasaan ilmu pengetahuan, akses terhadap sumber daya yang dibutuhkan agar dapat hidup layak, dan kebebasan politik serta jaminan atas hak asasi manusia. Laporan pembangunan manusia global yang dikeluarkan UNDP menyatakan bahwa manusia Indonesia adalah kekayaan bangsa yang sesungguhnya yang memiliki watak, sikap dan perilaku sesuai dengan nilai-nilai budaya, agama dan sosial di Indonesia. Tujuan utama pembangunan suatu Negara tidak lain adalah menciptakan lingkungan yang memungkinkan rakyatnya menikmati usia panjang, sehat dan menjalankan kehidupan yang produktif. “Manusia adalah tujuan akhir pembangunan, bukan alat pembangunan (Jimly Asshiddiqie, 2006).

Jimly Asshiddiqie, (2006) menyatakan bahwa, pembangunan manusia harus dilakukan secara komprehensif dengan mempromosikan simbiose antara pembangunan ekonomi dan keadilan sosial; antara ekonomi yang maju dengan politik yang sehat; antara kesejahteraan individu dan masyarakat. Konsepsi pembangunan manusia tersebut dibandingkan dengan UUD 1945 maka jelas menunjukkan kesesuaiannya. Bahkan, dari kesepakatan dasar tentang tujuan nasional sudah menunjukkan orientasi terhadap pembangunan manusia baik sebagai individu maupun dalam masyarakat. “UUD 1945 bukan hanya konstitusi politik, tetapi juga konstitusi ekonomi dan sosial budaya, dan karena itulah konsep negara yang dianut dalam UUD 1945 adalah negara kesejahteraan.

Dalam laporan perkembangan regional Millenium Development Goals (MDG’s) terlihat bahwa pencapaian program pengentasan kemiskinan dan gizi buruk, masalah pencemaran lingkungan, penyedian air bersih, dan sanitasi berada dalam kategori Off Track-Slow yang berarti baru akan mencapai target setelah tahun 2015 mendatang. “Kondisi manusia Indonesia tersebut menimbulkan pertanyaan besar mengapa sampai dapat terjadi demikian, padahal tujuan nasional yang dituangkan dalam pembukaan UUD 1945 jelas-jelas berorientasi pada pembangunan mansuia,”?. “Jika pada tataran normatif konstitusional tidak ditemukan permasalahan, maka harus dilihat pada praktek pelaksanaan atau penegakkan konstitusi (the enforcement of the constitution). Penegakkan dalam hal ini tidak hanya pelaksanaan sutau aturan oleh organ Negara dan pejabat-pejabat di dalamnya, tetapi juga harus tercermin dalam pembuatan system aturan yang akan dilaksanakan oleh organ-organ itu.

NASIB DAN PERLINDUNGAN TENAGA KERJA INDONESIA
Sejumlah agen rekrutmen tenaga kerja di Indonesia, baik yang berizin maupun tidak, beroperasi layaknya sindikat perdagangan manusia, menjerumuskan para pekerja pria dan wanita ke dalam kerja ijon dan berbagai situasi kerja yang kejam. Perdagangan manusia untuk kegiatan seks dan perbudakan merajalela di seluruh Indonesia, dari wilayah pedesaan sampai perkotaan. Kepulauan Riau masih terus menjadi daerah transit dan tujuan bagi para wanita dan gadis Indonesia yang diperdagangkan untuk eksploitasi seks.

Berdasarkan Teks Resmi Kedubes Amerika Serikat (2007)bahwa, Indonesia merupakan negara asal, perantara, dan tujuan dari para wanita, anak-anak, dan pria yang diperdagangkan untuk tujuan eksploitasi seks dan kerja paksa. Jumlah wanita yang dijual ke Jepang dengan disamarkan sebagai pementas kegiatan kebudayaan berkurang pada tahun lalu. Para wanita dari Kalimantan Barat yang bermigrasi ke Taiwan dan Hong Kong sebagai pengantin kontrak seringkali dijerumuskan ke dalam lembah prostitusi atau kerja ijon. Sejumlah besar wanita Indonesia yang pergi ke luar negeri untuk bekerja sebagai pembantu rumah tangga menjadi korban eksploitasi dan kondisi-kondisi perbudakan yang penuh pemaksaan di Malaysia, Singapura, Arab Saudi, Jepang, Suriah, Kuwait, Taiwan, dan Hong Kong.

Djarot Saiful Hidajat (2006) menyatakan bahwa pemerintah Indonesia belum sepenuhnya memenuhi standar minimum untuk pemberantasan perdagangan manusia. Namun, berbagai upaya tengah dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut. Pada April 2007, Presiden Indonesia mengesahkan RUU anti perdagangan manusia yang memberikan kuasa kepada para aparat penegak hukum untuk menyelidiki segala bentuk praktik perdagangan manusia. UU anti perdagangan manusia ini merupakan senjata yang ampuh dalam upaya menuntut dan menjatuhkan hukuman kepada para pelaku perdagangan manusia dan menggiring mereka kepada hukuman penjara dan denda yang berat. Keberhasilannya tergantung pada kebulatan tekad para pejabat tinggi penegak hukum untuk menerapkan UU tersebut dan menyusun aturan pelaksanaannya sesegera mungkin. UU yang baru ini mencantumkan semua unsur penting yang diusulkan masyarakat sipil dan komunitas internasional, termasuk definisi kerja ijon, eksploitasi tenaga kerja, eksploitasi seksual, serta perdagangan manusia lintas negara dan dalam negeri.

Terlepas dari pengesahan UU anti perdagangan manusia yang komprehensif ini, tingkat ketidaksesuaian Indonesia dengan standar minimum pemberantasan perdagangan manusia masih tinggi. Indonesia memiliki masalah perdagangan manusia yang terbesar diantara negara-negara di sekelilingnya, dengan ratusan ribu korban perdagangan manusia. Indonesia juga memiliki masalah yang besar dan belum teratasi dalam keterlibatan pejabat publik dalam perdagangan manusia. Upaya-upaya penegakan hukum telah meningkat pada tahun terakhir, namun masih belum cukup, dan baru sedikit kemauan politik yang ditunjukkan untuk memberikan perlindungan yang lebih kepada TKI dari bahaya perdagangan manusia.

Departemen Tenaga Kerja RI (2006), Pemerintah Indonesia melaksanakan sejumlah upaya yang lebih baik dalam memerangi perdagangan manusia pada 2006, meskipun ketiadaan UU yang komprehensif menghambat efektivitas dari upaya-upaya ini. Dengan disahkan dan diberlakukannya sebuah UU anti perdagangan manusia yang komprehensif pada April 2007, Indonesia kini melarang segala bentuk praktik perdagangan manusia; UU tersebut menetapkan hukuman penjara selama 3 sampai 15 tahun. Hukuman ini cukup berat dan sebanding dengan hukuman untuk kejahatan berat lainnya. UU anti perdagangan manusia yang baru ini berisi aturan penuntutan atas korporasi yang dapat diberlakukan pada agen-agen penempatan tenaga kerja yang terlibat dalam perdagangan manusia. Aturan lainnya secara khusus mengkriminalisasi perdagangan manusia yang dilakukan oleh pejabat pemerintah. UU baru ini juga akan memfasilitasi pengumpulan data anti perdagangan manusia, yang merupakan masalah kronis di Indonesia.

Dijelaskan oleh Departemen Tenaga Kerja RI (2006) bahwa, penegakan hukum terhadap para pelaku perdagangan manusia pada tahun 2006 meningkat dari tahun 2005, dengan kasus penangkapan naik sebesar 29 persen, dari 110 menjadi 142; penuntutan hukum naik 87 persen, dari 30 menjadi 56; dan penjatuhan hukuman naik 112 persen, dari 17 menjadi 36. Rata-rata masa hukuman untuk kasus-kasus tersebut adalah 54 bulan. Masa hukuman paling lama untuk kasus perdagangan manusia pada tahun 2006 adalah 15 tahun, yang dijatuhkan sesuai dengan Undang-Undang Perlindungan Anak. Jumlah petugas polisi wanita yang membantu korban naik menjadi 280 pada tahun 2006, sedangkan jumlah penyidik polisi untuk kasus perdagangan manusia naik hampir dua kali lipat menjadi 20, namun ini masih belum mencukupi mengingat masalah perdagangan manusia di Indonesia sangat besar. Para jaksa penuntut di Transnational Crime Center, yang dibentuk pada Juli 2006 untuk menangani kasus-kasus yang menjadi prioritas utama di bidang perdagangan manusia dan terorisme, mengajukan tuntutan atas 10 kasus perdagangan manusia dalam enam bulan pertama operasinya. Sejumlah peraturan daerah juga disahkan untuk melindungi wanita dan anak-anak dari praktik perdagangan manusia.

Pemerintah Indonesia terus melakukan upaya-upaya yang berkesinambungan untuk menggalang kesadaran dan mencegah praktik perdagangan manusia pada tahun 2006. Departemen Tenaga Kerja dan Polri melakukan langkah awal untuk bekerjasama dalam memberikan perlindungan bagi TKI yang menjadi korban perdagangan manusia dengan menandatangani Nota Kesepahaman yang mendukung upaya gabungan di semua bandara dan pelabuhan transit. Pemerintah menyediakan anggaran anti perdagangan manusia untuk pertama kalinya tahun 2007 ini, dengan alokasi sebesar 4,8 juta dolar A.S.

Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan (2006) melakukan upaya-upaya meningkatan kesadaran di 16 provinsi dan mensponsori pengumuman layanan publik di televisi yang disiarkan oleh beberapa stasiun televisi nasional. Pemerintah bekerjasama dengan berbagai LSM dan organisasi internasional untuk meningkatkan kesadaran dan mencegah perdagangan manusia. Banyak kemitraan satuan tugas daerah dari pemerintah dan organisasi masyarakat sipil yang memberikan andil besar pada upaya-upaya anti perdagangan manusia di tingkat akar rumput. Pemberian perlindungan terhadap tenaga kerja Indonesia, tentunya merupakan harapan dari manusia Indonesia dalam rangka mengembangkan potensi dirinya dibidang pekerjaan tertentu. Akan tetapi perlindungan secara hukum tenaga kerja Indonesia harus diimbangi dengan peningkatan kualitas tenaga kerja melalui berbagai kegiatan pelatihan atau pendidikan non formal yang dapat membantu TKI tersebut dalam pengembangan potensi keterampilan dirinya, sehingga mereka mampu bekerja sesuai dengan tingkatan keterampilan yang mereka peroleh.

IMPLIKASI
Pembangunan manusia Indonesia merupakan salah satu tujuan dari cita-cita perjuangan kemerdekaan Indonesia, karena kemerdekaan adalah terbebasnya suatu Negara kaum penjajah, yang menyebabkan bangsa tersebut menjadi bangsa yang terkebelakang dan tertindas dari semua sisi kehidupan manusia, baik kehidupan secara individu maupun kehidupan secara bernegara dan berbangsa. Indonesia yang terbebas dari kaum penjajah Belanda maupun Jepang sudah saatnya mengisi kemerdekaan dengan membangun manusia Indonesia sesuai dengan program pembangunan yang telah direncanakan dalamGBHN.

Semua pemerintah yang pernah memimpin bangsa Indonesia pada hakekatnya telah mengupayakan pembangunan manusia Indonesia dengan berbagai pola pembangunan yang teleh dirumuskan, namun upaya tersebut belum menyentuh kepentingan manusia Indonesia secara holistik dan universal, sehingga masih banyak penduduk Indonesia yang melek huruf, miskin dan tidak mempunyai pekerjaan (pengangguran).

Manusia Indonesia yang semakin berkembang akan mempengaruhi tingkat kepercayaan dunia barat tehadap Indonesia, karena manusia Indonesia merupakan modal dasar bagi pemerintah Indonesia dalam mengembangkan potensi sumber daya alam. Tetapi masalah yang dihadapi pemerintah Indonesia adalah bagaimana manusia Indonesia mempunyai peran dalam pembangunan, jika indeks kemiskinan manusia Indonesia masih jauh dari rata-rata angka kemiskinan di era pemerintahan Orde Baru yaitu 16,7 %.

Peningkatan kualitas manusia Indonesia yaitu hanya dengan memprioritaskan pendidikan sebagai faktor utama dengan memberikan biaya anggaran 20 % dari total anggaran APBN. Hal ini harus diupayakan oleh pemerintah saat ini , karena total anggaran pendidikan yang dibutuhkan 20 % merupakan anggaran yang diluar biaya untuk gaji guru dan perbaikan sarana-dan prasarana sekolah.


KESIMPULAN
  1. Pembangunan manusia Indonesia harus dititikberatkan pada pembangunan pendidikan secara berkelanjutan untuk membentuk manusia Indonesia yang mandiri serta dapat bersaing di dunia internasional.
  2. Perlindungan hukum dan penyelesaian masalah tenaga kerja Indonesia merupakan hal yang utama diselesaikan oleh pemerintah Indonesia, karena tenaga kerja Indonesia merupakan salah satu asset dalam penambahan devisa Negara dibidang non migas, sehingga dengan adanya perlidungan hukum terhadapTKI, maka manusia Indonesia akan merasa aman untuk bekerja di luar negeri tanpa ada perlakuan yang tidak terpuji terhadap diri TKI.
  3. Peningkatan sumber daya manusia terutama TKI diupayakan melalui peningkatan dibidang keterampilan dan penguasaan teknologi dalam upaya untuk memberikan bekal ilmu pengetahun kepada TKI sebelum mereka berangkat ke luar negeri untuk bekerja.
  4. Untuk tenaga kerja yang berada di dalam negeri diupayakan adanya peningkatan UMR yang didasarkan pada kemampuan setiap provinsi dan perusahaan atau industri dalam menampung tenaga kerja yang berada pada tingkatan usia kerja.

Referensi ada dalam bentuk file;

Saturday, October 31, 2009

Pemberdayaan dan Komponen-Komponen Penyusunnya

Oleh : Mohamad Ikbal Bahua

A. Istilah Pemberdayaan

Istilah pemberdayaan pertama kali digunakan oleh aktivis Gerakan Black Panther dalam mobilisasi politik di USA pada 1960-an. Konsep ini dorman selama dekade 1970-an. Pada pertengahan dekade 1980-an, Gerakan Kaum Wanita mempopulerkan kembali konsep pemberdayaan. Kini konsep “pemberdayaan” telah masuk keberbagai disiplin ilmu, baik pada tataran teori maupun praktek. Bahkan, istilah “pemberdayaan” telah menjadi suatu kata plastis, yang digunakan dalam berbagai konteks, sehingga mengaburkan makna yang sebenarnya (Aithai Vathsala, 2005: 2).

Makna pemberdayaan Menurut kamus Oxford kata empower sinonim dengan memberi daya atau kekuasaan kepada. Ada dua citra pemberdayaan, yaitu: (1) yang memberi manfaat baik kepada pihak yang memberi kuasa maupun kepada pihak yang mendapat kuasa. Tipe inilah yang disebut sebagai pemberdayaan (empowerment), dan (2) kekuasaan didapat oleh pihak yang sebelumnya tidak berkuasa melalui perjuangan sendiri. Hal ini disebut sebagai “self-empowerment” atau pemberdayaan sendiri. Konsep pemberdayaan memberi kerangka acuan mengenai matra kekuasaan (power) dan kemampuan (kapabilitas) yang melingkup aras sosial, ekonomi, budaya, politik dan kelembagaan. (Emporwermentillustrated.com, 2005: 2)

Secara konseptual, pemberdayaan atau pemberkuasaan (empowerment), berasal dari kata ‘power’ (kekuasaan atau keberdayaan). Karenanya, ide utama pemberdayaan bersentuhan dengan konsep mengenai kekuasaan. Kekuasaan seringkali dikaitkan dengan kemampuan kita untuk membuat orang lain melakukan apa yang kita inginkan, terlepas dari keinginan dan minat mereka. Ilmu sosial tradisional menekankan bahwa kekuasaan berkaitan dengan pengaruh dan kontrol. Pengertian ini mengasumsikan bahwa kekuasaan sebagai sesuatu yang tidak berubah atau tidak dapat dirubah. Kekuasaan sesungguhnya tidak terbatas pada pengertian di atas. Kekuasaan tidak vakum dan terisolasi. Kekuasaan senantiasa hadir dalam konteks relasi sosial antar manusia. Kekuasaan tercipta dalam relasi sosial. Karena itu, kekuasaan dan hubungan kekuasaan dapat berubah. Dengan pemahaman kekuasaan seperti ini, pemberdayaan sebagai sebuah proses perubahan kemudian memiliki konsep yang bermakna. Dengan kata lain, kemungkinan terjadinya proses pemberdayaan sangat tergantung pada dua hal: (1) Bahwa kekuasaan dapat berubah. Jika kekuasaan tidak dapat berubah, pemberdayaan tidak mungkin terjadi dengan cara apapun; dan (2) Bahwa kekuasaan dapat diperluas. Konsep ini menekankan pada pengertian kekuasaan yang tidak statis, melainkan dinamis (Suharto, 2004: 2).

Pemberdayaan mencakup peningkatan kesadaran. Ia juga mencakup lebih dari sekedar perubahan kekuasaan, sebagai akibat dari perubahan struktur dan tata-nilai lama. Elemen kesadaran dan pertimbangan yang tinggi dari kedua belah pihak yang terlibat, yang didapat dari solusi menang-menang (win-win) menyediakan kesempatan bagi kemajuan untuk hidup yang lebih sejahtera, bagi semua yang terlibat.

Berdasarkan uraian di atas, maka makna pemberdayaan dapat didefinisikan sebagai berikut:

1. Pemberdayaan bertujuan untuk meningkatkan kekuasaan orang-orang yang lemah atau tidak beruntung (Ife, 1995: 56).

2. Pemberdayaan menunjuk pada usaha pengalokasian kembali kekuasaan melalui pengubahan struktur sosial (Swift dan Levin (1987: xiii).

3. Pemberdayaan adalah suatu cara dengan mana rakyat, organisasi, dan komunitas diarahkan agar mampu menguasai (atau berkuasa atas) kehidupannya (Rappaport, 1984: 3).

4. Pemberdayaan adalah sebuah proses dengan mana orang menjadi cukup kuat untuk berpartisipasi dalam, berbagi pengontrolan atas, dan mempengaruhi terhadap, kejadian-kejadian serta lembaga-lembaga yang mempengaruhi kehidupannya. Pemberdayaan menekankan bahwa orang memperoleh keterampilan, pengetahuan, dan kekuasaan yang cukup untuk mempengaruhi kehidupannya dan kehidupan orang lain yang menjadi perhatiannya (Parsons, et al., 1994: 106).

5. Pemberdayaan menunjuk pada kemampuan orang, khususnya kelompok rentan dan lemah, untuk (a) memiliki akses terhadap sumber-sumber produktif yang memungkinkan mereka dapat meningkatkan pendapatannya dan memperoleh barang-barang dan jasa-jasa yang mereka perlukan; dan (b) berpartisipasi dalam proses pembangunan dan keputusan-keputusan yang mempengaruhi mereka (Suharto, 2004: 3).

Berdasarkan penjelasan konsep definisi di atas, maka pemberdayaan ialah “Upaya untuk membantu orang-orang agar dapat menolong diri mereka sendiri,” atau upaya untuk memimpin orang-orang agar belajar memimpin diri mereka sendiri.”

B. Komponen-komponen yang menyusun Pemberdayaan

Situs Emporwermentillustrated.com (2005: 2) memberikan beberapa komponen-komponen yang menyusun pemberdayaan antara lain:

1. Pemberdayaan selalu berhubungan dengan Kekuasaan:

Power over: Kekuasaan untuk mengatur seseorang atau sesuatu. Respon pada kekuasaan ini bisa berupa kepatuhan, penolakan atau manipulasi.

Power to: kekuasaan yang bersifat generatif atau produktif yang mencipatakan peluang dan aksi tanpa dominasi.

Power with: kekuasaan yang menimbulkan suatu perasaan bahwa keseluruhan itu lebih besar dari jumah seluruh individu yang ada dan aksi kelompok lebih efektif.

Power from within: suatu perasaan adanya kekuatan dalam setiap orang. Pengakuan pada penerimaan dan penghargaan pada diri sendiri memungkinkan penerimaan orang lain sebagai sesama.

Hampir seluruh definisi pemberdayaan mencakup dimensi power over, misalnya akses pada pembuatan keputusan. Sebaliknya, power with menunjukkan kekuasaan kolektif. Banyak LSM Wanita di belahan bumi selatan melakukan perubahan bersama-sama dengan pihak lain. Selanjutnya, maksud power within ialah diri anda ataupun para petani binaan haruslah diperkuat. Dalam hubungan ini, pemberdayaan ialah suatu proses dimana stake holders dapat berubah dari tidak berdaya (“kami tidak mampu”) menjadi percaya diri secara kolektif (“kami mampu”).

22. Selain faktor kekuasaan, pemberdayaan juga melibatkan aspek, kognitif, psikologis, ekonomi, dan politik

Aspek kognitif menunjukkan kemampuan stakeholders untuk memahami situasi subordinasi dalam masyarakat pada tingkat mikro maupun makro, dan juga kemampuan membuat keputusan untuk mengubah kebudayaan dan norma yang menghambat perkembangan mereka.

Aspek psikologis menunjukan kemampuan stakeholders untuk mengembangkan sikap bahwa mereka mampu memperbaiki situasi dan akan berhasil.

Aspek ekonomi menunjukkan bahwa stakeholders harus memiliki aktivitas yang produktif agar memiliki penghasilan dan otonomi keuangan untuk mengurangi ketergantungan pada pihak lain.

Aspek politik menujukkan kapasitas stakeholders untuk menganalisis situasi sosial-politik dan kemampuan mereka mengorganisasi dan memobilisasi rekan-rekannya untuk melakukan perubahan sosial.

Girvan (2004) dalam Suharto (2004: 4) memberikan beberapa indikator pemberdayaan yang biasa disebut dengan empowerment index atau indeks pemberdayaan, antara lain:

Kebebasan mobilitas: kemampuan individu untuk pergi ke luar rumah atau wilayah tempat tinggalnya, seperti ke pasar, fasilitas medis, bioskop, rumah ibadah, ke rumah tetangga. Tingkat mobilitas ini dianggap tinggi jika individu mampu pergi sendirian.

Kemampuan membeli komoditas ‘kecil’: kemampuan individu untuk membeli barang-barang kebutuhan keluarga sehari-hari (beras, minyak tanah, minyak goreng, bumbu); kebutuhan dirinya (minyak rambut, sabun mandi, rokok, bedak, sampo). Individu dianggap mampu melakukan kegiatan ini terutama jika ia dapat membuat keputusan sendiri tanpa meminta ijin pasangannya; terlebih jika ia dapat membeli barang-barang tersebut dengan menggunakan uangnya sendiri.

Kemampuan membeli komoditas ‘besar’: kemampuan individu untuk membeli barang-barang sekunder atau tersier, seperti lemari pakaian, TV, radio, koran, majalah, pakaian keluarga. Seperti halnya indikator di atas, poin tinggi diberikan terhadap individu yang dapat membuat keputusan sendiri tanpa meminta ijin pasangannya; terlebih jika ia dapat membeli barang-barang tersebut dengan menggunakan uangnya sendiri.

Terlibat dalam pembuatan keputusan-keputuan rumah tangga: mampu membuat keputusan secara sendiri mapun bersama suami/istri mengenai keputusan-keputusan keluarga, misalnya mengenai renovasi rumah, pembelian kambing untuk diternak, memperoleh kredit usaha.

Kebebasan relatif dari dominasi keluarga: responden ditanya mengenai apakah dalam satu tahun terakhir ada seseorang (suami, istri, anak-anak, mertua) yang mengambil uang, tanah, perhiasan dari dia tanpa ijinnya; yang melarang mempunyai anak; atau melarang bekerja di luar rumah.

Kesadaran hukum dan politik: mengetahui nama salah seorang pegawai pemerintah desa/kelurahan; seorang anggota DPRD setempat; nama presiden; mengetahui pentingnya memiliki surat nikah dan hukum-hukum waris.

Keterlibatan dalam kampanye dan protes-protes: seseorang dianggap ‘berdaya’ jika ia pernah terlibat dalam kampanye atau bersama orang lain melakukan protes, misalnya, terhadap suami yang memukul istri; istri yang mengabaikan suami dan keluarganya; gaji yang tidak adil; penyalahgunaan bantuan sosial; atau penyalahgunaan kekuasaan polisi dan pegawai pemerintah.

Jaminan ekonomi dan kontribusi terhadap keluarga: memiliki rumah, tanah, asset produktif, tabungan. Seseorang dianggap memiliki poin tinggi jika ia memiliki aspek-aspek tersebut secara sendiri atau terpisah dari pasangannya.


Referensi ada dalam bentuk file