I. PENDAHULUAN
Kepemimpinan tumbuh secara alami diantara orang-orang yang dihimpun untuk mencapai suatu tujuan dalam satu kelompok. Beberapa dari anggota kelompok akan memimpin, sedangkan sebagian besar akan mengikuti. Sebenarnya kebanyakan orang menginginkan seseorang untuk menentukan hal-hal yang perlu dikerjakan dan cara mengerjakannya, diberi motivasi dan bimbingan dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan yang harus mereka kerjakan, akan tetapi mereka tidak mau mengerjakannya apabila tidak ada pemimpinnya.
Sarwono (2005), kepemimpinan adalah suatu proses perilaku atau hubungan yang menyebabkan suatu kelompok dapat bertindak secara bersama-sama atau secara bekerjasama dengan aturan atau sesuai dengan tujuan bersama. Sebaliknya yang dinamakan pemimpin adalah orang yang melaksanakan proses, perilaku atau hubungan tersebut. Selanjutnya Hemphill dan Coons (1957 dalam Sarwono, 2005) menyatakan bahwa, kepemimpinan adalah perilaku seorang individu ketika ia mengarahkan aktivitas sebuah kelompok menuju suatu tujuan bersama.
Priyono (2003), kepemimpinan adalah sebuah proses yang akan membentuk seseorang pemimpin dengan karakter dan watak jujur terhadap diri sendiri (integrity), bertanggungjawab yang tulus (compassion), pengetahuan (cognizance), keberanian bertindak sesuai dengan keyakinan (commitment), kepercayaan pada diri sendiri dan orang lain (confidence) dan kemampuan untuk meyakinkan orang lain (communication). Juga sebuah proses yang akan membentuk seorang pengikut (follower) yang di dalam kepatuhannya kepada pemimpin, tetapi pemikiran kritis, inovatif, dan jiwa independent.
Dahama dan Bhatnagar (1980 dalam Mardikanto 1991 : 204), pemimpin adalah seseorang yang diakui atau memperoleh pengakuan dari seluruh anggota sistem-sosialnya sebagai yang berhak atau memiliki kekuasaan untuk dalam situasi tertentu menggerakkan orang lain (yang dipimpinnya) untuk mencapai tujuan bersama (yang menjadi tujuan system sosialnya) yang telah direncanakan.
Selanjutnya Slamet (2003 : 68) menyatakan bahwa, kepemimpinan adalah kegiatan mempengaruhi perilaku orang-orang lain agar mau bekerjasama untuk mencapai tujuan tertentu. Defenisi ini mengandung dua pengertian pokok yang sangat penting tentang kepemimpinan, yaitu pertama, mempengaruhi perilaku orang lain. Kepemimpinan dalam organisasi diarahkan untuk mempengaruhi orang-orang yang dipimpinnya, agar mau berbuat seperti yang diharapkan ataupun diarahkan oleh orang yang memimpinnya. Motivasi orang untuk berperilaku ada dua macam, yaitu motivasi ekstrinsik dan motivasi intrinsik.
Asngari (2001 : 1), SDM-klien memberdayakan diri mempunyai makna SDM tersebut memiliki tekad tinggi berkat motivasi intrinsik yang kuat untuk mengembangkan diri agar lebih mampu berprestasi prima. Dengan niat/tekad kuat tersebut SDM yang bersangkutan berusaha meningkatkan kualitas dan mewujudkan potensi diri untuk mencapai tujuannya. Berbeda dengan SDM yang ekstrinsik motivasinya, peranan pihak luar sangat menonjol. Pada keadaan yang demikian pihak luar perlu lebih aktif memberi bantuan baik diminta maupun tidak diminta, bahkan harus proaktif menyodorkan diri (dalam arti positif) dengan kiat-kiat khusus.
Berdasarkan beberapa pengertian kepemimpinan di atas, maka hubungannya dengan penyuluhan dalam hal ini seorang agen pembaruan/penyuluh sesuai dengan pendapat Asngari (2001 : 5) bahwa, dalam usaha merangsang tumbuhnya kemauan dan perubahan, agen pembaruan/penyuluh secara aktif berusaha melakukan ajakan-ajakan (persuasi) pada SDM-klien. Tujuan utamanya adalah, sebagaimana dikemukakan oleh Bormann, et al. (1969 dalam Asngari, 2001 : 5), “the winning of willing cooperation.” Agen pembaruan/penyuluh berusaha menentukan kemauan bekerjasama untuk mewujudkan terjadinya perubahan-perubahan yang dikehendaki. Karena itu pulalah yang menjadi pegangan bagi agen pembaruan/penyuluh sebagaimana dikemukakan oleh Bormann, et al. (1969 dalam Asngari, 2001 : 5) : “people do thing for their reasons not yours.” Artinya, kebutuhan dan keinginan SDM-klien merupakan acuan utama bagi agen pembaruan/penyuluh, dan bukannya kemauan dan keinginan agen pembaruan.
II. PEMIMPIN FORMAL DAN INFORMAL
2.1. Pemimpin Formal
Walgito (2003 : 93) mengungkapkan bahwa, dalam kepemimpinan ada pemimpin dan kelompok yang dipimpin. Pada umumnya kelompok dapat dibedakan dapat dibedakan antara kelompok primer dan kelompok sekunder, disamping kelompok formal dan kelompok informal. Kelompok formal akan dipimpin oleh pemimpin formal yang mempunyai interaksi dalam kelompok sekunder, yaitu lebih bersifat formal, lebih didasarkan atas pertimbangan rasio daripada pertimbangan perasaan, karenanya lebih bersifat objektif. Pemimpin formal pada umumnya berstatus resmi dan didukung oleh peraturan-peraturan yang tertulis serta keberadaannya melalui proses pemilihan dan pengangkatan secara resmi. Pemimpin formal” adalah orang yang menjadi pemimpin karena ”legalitas”-nya. Misalnya, karena ia terpilih secara sah melalui pemilu, atau kongres, atau muktamar, atau apa pun namanya. Yang bersangkutan telah memenuhi semua peraturan yang ada (Darmaputera, 2004).
Anonim (2006), pemimpin formal adalah pemimpin yang secara resmi diberi wewenang/ kekuasaan untuk mengambil keputusan-keputusan tertentu, dan dia mempertanggungjawabkan kekuasaan/wewenangnya tersebut pada atasannya. Pemimpin formal pada umumnya berada pada lembaga formal juga, dan keputusan pengangkatannya sebagai pemimpin berdasarkan surat keputusan yang formal. Seorang pemimpin formal bisa saja hanyalah seorang kepala yang memiliki wewenang sah berdasarkan ketentuan formal untuk mengelola anggotanya, atau jika dalam organisasi memiliki wewenang untuk membawahi dan memberi perintah pada bawahan-bawahannya.
Seorang kepala adalah juga seorang pemimpin apabila dia diterima secara ikhlas oleh para anggotanya dan dia mampu mempengaruhi para anggota sehingga mereka dengan pengertian, kesadaran dan senang hati bersedia mengikuti dan mentaati pemimpin tersebut. Seorang pemimpin formal biasanya dinilai oleh bawahannya/masyarakatnya berdasarkan hasil-hasil yang dicapainya (prestasi). Dengan demikian pengakuan bagi seorang pemimpin formal oleh bawahannya/ masyarakatnya disamping ditentukan oleh jiwa kepemimpinan (leadership) juga oleh prestasi yang mana hal ini berkaitan dengan pengetahuannya tentang kebutuhan masyarakat dimana dia ditempatkan.
Mardikanto (1991 : 205), pemimpin formal adalah pemimpin yang di samping memperoleh pengakuan berdasarkan kedudukannya, juga memang memiliki kemampuan pribadi untuk memimpin (kepemimpinan) yang andal. Selanjutnya Mardikanto (1991 : 206) menambahkan bahwa, dari segi organisasi seorang pimpin formal lebih efektif mengarah kepada kepemimpinan organisasi pamrih, yaitu organisasi yang bentuk keterlibatan anggotanya lebih didasarkan pada pertimbangan kalkulatif (untung-rugi/manfaat-korbanan yang harus dikeluarkan dan yang akan dapat diterimanya). Contoh organisasi seperti ini adalah organisasi-organisasi keprofesian, perusahaan, dan berbagai bentuk asosiasi usahawan sejenis.
Berdasarkan macam kegiatannya pemimpin formal lebih baik memimpin pada kegiatan ekspresif dan kegiatan instrumental. Kegiatan ekspresif, yaitu kegiatan yang bertujuan untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan normatif dan sosial, seperti : keagamaan/kepercayaan, kesetiakawanan sosial, dan lain-lain. Sedangkan kegiatan instrumental adalah kegiatan yang bertujuan untuk pemenuhan kebutuhan dan alokasi sumberdaya, seperti : pertanian, industri, dan lain-lain. Contoh berbagai pemimpin formal adalah ; direktur perusahaan, pemerintah daerah (kepala desa – gubernur), pimpinan asosiasi dan profesi pertanian seperti HITI (Himpunan Ilmu Tanah Indonesia), PII (Persatuan Insinyur Indonesia), HIGI (Himpunan Ilmu Gulma Indonesia), dan lain sebagainya.
Pada tataran penyuluhan seorang pemimpin formal pada umumnya selalu memberikan berbagai kebijakan mengenai pembangunan pertanian yang sebelumnya disosialisasikan kepada msayarakat melalui media massa atau melalui pertemuan langsung dengan petani dalam suatu rapat kelompok tani. Mardikanto (1991 : 38) menyatakan bahwa, penguasa atau pimpinan wilayah, yang memiliki kekuasaan mengambil keputusan kebijakan pembangunan pertanian dan sekaligus bertanggungjawab atas keberhasilan pembangunan diwilayah kerja masing-masing adalah merupakan sasaran penentu dalam penyuluhan pertanian
2.2. Pemimpin Informal
Darmaputera (2004), pemimpin informal tidak menjadi pemimpin karena faktor legalitas, tapi terutama karena faktor ”legitimitas”. Artinya, walaupun tak ada kongres atau muktamar yang menetapkan demikian, tapi rakyat dan umat dengan spontan menerima dan memperlakukan yang bersangkutan sebagai pemimpin mereka. pemimpin informal itu ditetapkan oleh umat bukan dengan surat suara, tapi dengan kata hati. (suara batin). Ikatan antar mereka tidak diatur secara resmi, tapi lahir secara spontan karena ada rasa hormat dan cinta yang tidak dipaksa-paksa.
Anonim (2006), pemimpin informal adalah pemimpin yang tidak diangkat secara resmi berdasarkan surat keputusan tertentu. Dia memperoleh kekuasaan / wewenang karena pengaruhnya terhadap kelompok. Apabila pemimpin formal dapat memperoleh pengaruhnya melalui prestasi, maka pemimpin informal memperoleh pengaruh berdasarkan ikatan-ikatan psikologis. Tidak ada ukuran obyektif tentang bagaimana seorang pemimpin informal dijadikan pemimpin. Dasarnya hanyalah oleh karena dia pernah benar dalam hal tertentu, maka besar kemungkinan dia akan benar pula dalam hal tersebut pada kesempatan lain. Di samping penentuan keberhasilan pada masa lalu, pemilihan pemimpin informal juga ditentukan oleh perasaan simpati dan antipati seseorang atau kelompok terhadapnya.
Walgito (2003 : 93) menyatakan bahwa, pemimpin informal adalah pemimpin yang mempunyai batas-batas tertentu dalam kepemimpinanya. Pemimpin informal adalah orang yang memimpin kelompok informal yang statusnya tidak resmi, pada umumnya tidak didukung oleh peraturan-pertaturan yang tertulis seperti pada kelompok formal. Selanjutnya Sarwono (2005 : 44 & 46), pemimpin informal dapat dikatakan sebagai ciri kepribadian yang menyebabkan timbulnya kewibawaan pribadi dari pemimpin dan merupakan bakat/sifat/karismatik yang khas terdapat dalam diri pemimpin yang dapat diwujudkan dalam perilaku kepemimpinan.
Asngari (2001 : 8 – 9) bahwa, pentingnya individu ditonjolkan dalam pendidikan/penyuluhan pada umumnya, sebab potensi pribadi seseorang individu merupakan hal yang tiada taranya untuk berkembang dan dikembangkan. Falsafah membantu diri sendiri menunjukkan dinamika pribadi SDM-klien sangat menonjol. Bagi SDM-klien yang telah mengerti kepentingan dirinya (motivasi intrinsiknya tinggi) dia aktif sendiri, tetapi bagi yang baru tumbuh motivasi ekstrinsiknya, maka [perlu dipacu oleh penyuluh agar memiliki motivasi intrinsik yang tinggi, sehingga nantinya dia lebih dinamis membantu diri sendiri. Selanjutnya Slamet (2003 : 69), dalam proses kepemimpinan tersebut pemimpin membimbing, memberi pengarahan, mempengaruhi perasaan dan perilaku orang lain, memfasilitasi serta menggerakkan orang lain untuk bekerja menuju sasaran yang diiginkan bersama. Semua yang dilakukan pimpinan harus bisa dipersiapkan oleh orang lain dalam organisasinya sebagai bantuan kepada orang-orang itu untuk dapat meningkatkan mutu kinerjanya.
Berdasarkan berbagai pengertian di atas, maka yang termasuk dalam pemimpin informal adalah pemimpin/ketua kelompok tani, karena kelompok tani merupakan suatu kelompok informal yang memiliki pembagian tugas, peran serta hirarki tertentu, serta norma yang menjadi pedoman perilaku para anggotanya. Pedoman perilaku dan kegiatan kelompok tani tersebut dijabarkan melalui keputusan musyawarah kelompok tani yang mendapat bimbingan langsung dari agen pembaruan/penyuluh.
III. PERANAN PEMIMPIN FORMAL DAN INFORMAL
DALAM PENYULUHAN
Pada tataran penyuluhan, pemimpin formal sangat baik dan sangat dibutuhkan untuk menyebarluaskan pengetahuan dan keterampilannya kepada semua warga masyarakat yang dipimpinnya. Pemimpin formal harus terbuka untuk menerima pengetahuan/keterampilan baru serta pengalaman orang lain yang bermanfaat bagi warga yang dipimpinnya, serta memiliki motivasi untuk memimpin yang tinggi dan mampu mengembangkan diri dengan pengetahuan baru, keterampilan baru, maupun untuk mengembangkan wawasan baru secara multi dispilin dan inter displin yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan tugas dan kewajiban yang harus dilaksanakan.
Peranan seorang pemimpin formal dalam penyuluhan pembangunan dapat merupakan motivator untuk pengembangan pembangunan pertanian melalui visi dan misi yang dibawa oleh agen pembaruan/penyuluh dalam membentuk perilaku SDM-klien kearah yang lebih maju dan moderen agar mereka mampu menggunakan/mengaplikasikan IPTEK sesuai dengan tujuan dari usahatani atau bisnisnya
Seseorang yang memiliki sifat dan pembawaan yang membuat orang menyukainya, akan mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk menjadi pemimpin informal dibandingkan orang lain yang tidak memiliki sifat-sifat tersebut. Pendapat-pendapat dan saran-sarannya pun akan lebih mudah diterima apabila dia memiliki sifat mudah disukai. Oleh karena itu seseorang yang mempunyai kecakapan dan pengertian terhadap kehidupan sosial serta memiliki kepribadian yang dapat memberikan popularitas sosial kepadanya, mempunyai kesempatan yang paling besar untuk menjadi seorang pemimpin informal. Dalam hal ini kepribadian yang dapat memberikan popularitas sosial kepadanya dapat diparalelkan dengan istilah kharisma.
Depositario (1987 dalam Mardikanto, 1991 : 212 - 214), seorang pemimpin dalam penyuluhan, bukanlah sekedar pemimpin yang pintar bicara, tetapi ia harus benar-benar telah memperoleh pengakuan dari seluruh anggotanya sebagai orang yang memiliki pengetahuan dan keterampilan yang handal untuk mengerjakan sesuatu dengan hasil yang baik, yang sudah dapat dibuktikannya melalui berbagai hasil karya yang baik. Disamping pengalaman, kewibawannya dan karismatiknya, seorang pemimpin informal memiliki kewajiban untuk menyampaikan dan menyebarluaskan pengetahuan serta keterampilan bagi masyarakat yang dipimpinnya.
Peranan pemimpin informal dalam penyuluhan pembangunan adalah sebagai tempat bertanya atau shering pendapat ataupun dapat bekerjasama dengan agen pembaruan/penyuluh dalam menyebarluaskan IPTEK dan informasi dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan SDM-klien. Pemimpin informal dapat saja dijadikan sasaran penyuluhan terutama pada tataran penyuluhan secara perorangan, karena biasanya para pemimpin informal ini sangat mengerti dan sangat memahami akan masalah warga masyarakat sehingga agen pembaruan/penyuluh sangat terbantu dengan adanya informasi dari mereka selain agen pembaruan tersebut memberikan informasi kepada pemimpin informal tersebut.
Mardikanto (1991 : 216) dan Asngari (2001 : 32), sebagai implementasi dari jiwa dan pengabdian seorang pemimpin formal dan informal, maka dalam proses penyuluhan pembangunan ataupun pemberdayaan kepada SDM-klien selayaknya peran dan fungsi pemimpin dapat berpedoman pada falsafah pendidikan dan kepemimpinan dari Kihajar Dewantara, yang mencakup tiga dimensi yaitu :
IV. KESIMPULAN
Setiap pemimpin, baik pemimpin formal dan informal dalam penyuluhan berkewajiban untuk melakukan fungsi dan perannya dalam menggerakkan dan membangun SDM-klien untuk mencapai tujuan penyuluhan atau pemberdayaan sesuai dengan yang direncanakan. Seorang pemimpin baik formal maupun informal selalu mendambakan pembaruan, sebab dia tau bahwa hanya dengan pembaharuan akan dapat dihasilkan mutu yang lebih baik. Oleh karena itu dia harus selalu mendorong semua orang dalam organisasinya untuk berani melakukan inovasi-inovasi, baik menyangkut cara kerja maupun barang dan jasa yang dihasilkan.
Pemimpin formal pada dasarnya harus menempatkan, jiwa dan perilakunya untuk menjaga citra kepemimpinannya dalam meningkatkan kepercayaan masyarakat yang dipimpinnya. Efektifitas dan efisiensinya seorang pemimpin formal adalah dengan mengedepankan kepentingan masyarakat di atas kepentingan pribadi dan golongannya dalam rangka mencapai tujuan yang di cita-citakan bersama. Pemimpin formal setiap saat dapat dihindari atau tidak dipercaya oleh masyarakat karena arah kebijakan dan keputusan serta program kerjanya selalu merugikan masyarakat yang dipimpinnya.
Pemimpin informal dapat saja mempunyai dampak negatif maupun positif terhadap pengikutnya ataupun kelompoknya. Dampak positif seorang pemimpin informal adalah lebih mengutamakan ideologi dan realisasi tujuan rencana kerja daripada tujuan pribadinya, sedangkan dampak negatif dari seorang pemimpin informal adalah mementingkan tujuan dirinya sendiri daripada ideologi-ideologi kelompoknya atau pengikutnya. Seringkali ideologi digunakan untuk memperoleh kekuasaan dan setelah kekuasaan itu didapatnya, maka ideologi itu ditinggalkan atau diubah sesuai dengan tujuan pribadinya sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2006. Kepemimpinan Masyarakat Adat. Modul Pemberdayaan Masyarakat Adat. http://www.ireyogya.org/adat/htm. Di akses tanggal, 20 November 2007.
Asngari, P.S. 2001. Peranan Agen Pembaruan/Penyuluh Dalam Usaha Memberdayakan (Empowerment) Sumberdaya Manusia Pengelola Agribisnis. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu Sosial Ekonomi. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor.
Darmaputera, E. 2004. Pemimpin Formal, Pemimpin Informal. Harian Umum Sore Sinar Harapan, Sabtu, 03 Juli 2004. www.sinarharapan.com. Di akses tanggal, 20 November 2007.
Mardikanto, T. 1991. Penyuluhan Pembangunan Pertanian. Sebelas Maret University Press. Surakarta.
Priyono, H.B. 2003. Kepemimpinan Republik. Harian Kompas, 1 Oktober 2003.
Slamet, M.R. 2003. Membentuk Pola Perilaku Manusia Pembangunan. Institut Pertanian Bogor. Press.
Sarwono, W.S. 2005. Psikologi Sosial, Psikologi Kelompok dan Psikologi Terapan. Balai Pustaka. Jakarta.
Walgito. B. 2003. Psikologi Sosial Suatu Pengantar. Ed. Revisi. Andi Yogyakarta.
Sarwono (2005), kepemimpinan adalah suatu proses perilaku atau hubungan yang menyebabkan suatu kelompok dapat bertindak secara bersama-sama atau secara bekerjasama dengan aturan atau sesuai dengan tujuan bersama. Sebaliknya yang dinamakan pemimpin adalah orang yang melaksanakan proses, perilaku atau hubungan tersebut. Selanjutnya Hemphill dan Coons (1957 dalam Sarwono, 2005) menyatakan bahwa, kepemimpinan adalah perilaku seorang individu ketika ia mengarahkan aktivitas sebuah kelompok menuju suatu tujuan bersama.
Priyono (2003), kepemimpinan adalah sebuah proses yang akan membentuk seseorang pemimpin dengan karakter dan watak jujur terhadap diri sendiri (integrity), bertanggungjawab yang tulus (compassion), pengetahuan (cognizance), keberanian bertindak sesuai dengan keyakinan (commitment), kepercayaan pada diri sendiri dan orang lain (confidence) dan kemampuan untuk meyakinkan orang lain (communication). Juga sebuah proses yang akan membentuk seorang pengikut (follower) yang di dalam kepatuhannya kepada pemimpin, tetapi pemikiran kritis, inovatif, dan jiwa independent.
Dahama dan Bhatnagar (1980 dalam Mardikanto 1991 : 204), pemimpin adalah seseorang yang diakui atau memperoleh pengakuan dari seluruh anggota sistem-sosialnya sebagai yang berhak atau memiliki kekuasaan untuk dalam situasi tertentu menggerakkan orang lain (yang dipimpinnya) untuk mencapai tujuan bersama (yang menjadi tujuan system sosialnya) yang telah direncanakan.
Selanjutnya Slamet (2003 : 68) menyatakan bahwa, kepemimpinan adalah kegiatan mempengaruhi perilaku orang-orang lain agar mau bekerjasama untuk mencapai tujuan tertentu. Defenisi ini mengandung dua pengertian pokok yang sangat penting tentang kepemimpinan, yaitu pertama, mempengaruhi perilaku orang lain. Kepemimpinan dalam organisasi diarahkan untuk mempengaruhi orang-orang yang dipimpinnya, agar mau berbuat seperti yang diharapkan ataupun diarahkan oleh orang yang memimpinnya. Motivasi orang untuk berperilaku ada dua macam, yaitu motivasi ekstrinsik dan motivasi intrinsik.
Asngari (2001 : 1), SDM-klien memberdayakan diri mempunyai makna SDM tersebut memiliki tekad tinggi berkat motivasi intrinsik yang kuat untuk mengembangkan diri agar lebih mampu berprestasi prima. Dengan niat/tekad kuat tersebut SDM yang bersangkutan berusaha meningkatkan kualitas dan mewujudkan potensi diri untuk mencapai tujuannya. Berbeda dengan SDM yang ekstrinsik motivasinya, peranan pihak luar sangat menonjol. Pada keadaan yang demikian pihak luar perlu lebih aktif memberi bantuan baik diminta maupun tidak diminta, bahkan harus proaktif menyodorkan diri (dalam arti positif) dengan kiat-kiat khusus.
Berdasarkan beberapa pengertian kepemimpinan di atas, maka hubungannya dengan penyuluhan dalam hal ini seorang agen pembaruan/penyuluh sesuai dengan pendapat Asngari (2001 : 5) bahwa, dalam usaha merangsang tumbuhnya kemauan dan perubahan, agen pembaruan/penyuluh secara aktif berusaha melakukan ajakan-ajakan (persuasi) pada SDM-klien. Tujuan utamanya adalah, sebagaimana dikemukakan oleh Bormann, et al. (1969 dalam Asngari, 2001 : 5), “the winning of willing cooperation.” Agen pembaruan/penyuluh berusaha menentukan kemauan bekerjasama untuk mewujudkan terjadinya perubahan-perubahan yang dikehendaki. Karena itu pulalah yang menjadi pegangan bagi agen pembaruan/penyuluh sebagaimana dikemukakan oleh Bormann, et al. (1969 dalam Asngari, 2001 : 5) : “people do thing for their reasons not yours.” Artinya, kebutuhan dan keinginan SDM-klien merupakan acuan utama bagi agen pembaruan/penyuluh, dan bukannya kemauan dan keinginan agen pembaruan.
II. PEMIMPIN FORMAL DAN INFORMAL
2.1. Pemimpin Formal
Walgito (2003 : 93) mengungkapkan bahwa, dalam kepemimpinan ada pemimpin dan kelompok yang dipimpin. Pada umumnya kelompok dapat dibedakan dapat dibedakan antara kelompok primer dan kelompok sekunder, disamping kelompok formal dan kelompok informal. Kelompok formal akan dipimpin oleh pemimpin formal yang mempunyai interaksi dalam kelompok sekunder, yaitu lebih bersifat formal, lebih didasarkan atas pertimbangan rasio daripada pertimbangan perasaan, karenanya lebih bersifat objektif. Pemimpin formal pada umumnya berstatus resmi dan didukung oleh peraturan-peraturan yang tertulis serta keberadaannya melalui proses pemilihan dan pengangkatan secara resmi. Pemimpin formal” adalah orang yang menjadi pemimpin karena ”legalitas”-nya. Misalnya, karena ia terpilih secara sah melalui pemilu, atau kongres, atau muktamar, atau apa pun namanya. Yang bersangkutan telah memenuhi semua peraturan yang ada (Darmaputera, 2004).
Anonim (2006), pemimpin formal adalah pemimpin yang secara resmi diberi wewenang/ kekuasaan untuk mengambil keputusan-keputusan tertentu, dan dia mempertanggungjawabkan kekuasaan/wewenangnya tersebut pada atasannya. Pemimpin formal pada umumnya berada pada lembaga formal juga, dan keputusan pengangkatannya sebagai pemimpin berdasarkan surat keputusan yang formal. Seorang pemimpin formal bisa saja hanyalah seorang kepala yang memiliki wewenang sah berdasarkan ketentuan formal untuk mengelola anggotanya, atau jika dalam organisasi memiliki wewenang untuk membawahi dan memberi perintah pada bawahan-bawahannya.
Seorang kepala adalah juga seorang pemimpin apabila dia diterima secara ikhlas oleh para anggotanya dan dia mampu mempengaruhi para anggota sehingga mereka dengan pengertian, kesadaran dan senang hati bersedia mengikuti dan mentaati pemimpin tersebut. Seorang pemimpin formal biasanya dinilai oleh bawahannya/masyarakatnya berdasarkan hasil-hasil yang dicapainya (prestasi). Dengan demikian pengakuan bagi seorang pemimpin formal oleh bawahannya/ masyarakatnya disamping ditentukan oleh jiwa kepemimpinan (leadership) juga oleh prestasi yang mana hal ini berkaitan dengan pengetahuannya tentang kebutuhan masyarakat dimana dia ditempatkan.
Mardikanto (1991 : 205), pemimpin formal adalah pemimpin yang di samping memperoleh pengakuan berdasarkan kedudukannya, juga memang memiliki kemampuan pribadi untuk memimpin (kepemimpinan) yang andal. Selanjutnya Mardikanto (1991 : 206) menambahkan bahwa, dari segi organisasi seorang pimpin formal lebih efektif mengarah kepada kepemimpinan organisasi pamrih, yaitu organisasi yang bentuk keterlibatan anggotanya lebih didasarkan pada pertimbangan kalkulatif (untung-rugi/manfaat-korbanan yang harus dikeluarkan dan yang akan dapat diterimanya). Contoh organisasi seperti ini adalah organisasi-organisasi keprofesian, perusahaan, dan berbagai bentuk asosiasi usahawan sejenis.
Berdasarkan macam kegiatannya pemimpin formal lebih baik memimpin pada kegiatan ekspresif dan kegiatan instrumental. Kegiatan ekspresif, yaitu kegiatan yang bertujuan untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan normatif dan sosial, seperti : keagamaan/kepercayaan, kesetiakawanan sosial, dan lain-lain. Sedangkan kegiatan instrumental adalah kegiatan yang bertujuan untuk pemenuhan kebutuhan dan alokasi sumberdaya, seperti : pertanian, industri, dan lain-lain. Contoh berbagai pemimpin formal adalah ; direktur perusahaan, pemerintah daerah (kepala desa – gubernur), pimpinan asosiasi dan profesi pertanian seperti HITI (Himpunan Ilmu Tanah Indonesia), PII (Persatuan Insinyur Indonesia), HIGI (Himpunan Ilmu Gulma Indonesia), dan lain sebagainya.
Pada tataran penyuluhan seorang pemimpin formal pada umumnya selalu memberikan berbagai kebijakan mengenai pembangunan pertanian yang sebelumnya disosialisasikan kepada msayarakat melalui media massa atau melalui pertemuan langsung dengan petani dalam suatu rapat kelompok tani. Mardikanto (1991 : 38) menyatakan bahwa, penguasa atau pimpinan wilayah, yang memiliki kekuasaan mengambil keputusan kebijakan pembangunan pertanian dan sekaligus bertanggungjawab atas keberhasilan pembangunan diwilayah kerja masing-masing adalah merupakan sasaran penentu dalam penyuluhan pertanian
2.2. Pemimpin Informal
Darmaputera (2004), pemimpin informal tidak menjadi pemimpin karena faktor legalitas, tapi terutama karena faktor ”legitimitas”. Artinya, walaupun tak ada kongres atau muktamar yang menetapkan demikian, tapi rakyat dan umat dengan spontan menerima dan memperlakukan yang bersangkutan sebagai pemimpin mereka. pemimpin informal itu ditetapkan oleh umat bukan dengan surat suara, tapi dengan kata hati. (suara batin). Ikatan antar mereka tidak diatur secara resmi, tapi lahir secara spontan karena ada rasa hormat dan cinta yang tidak dipaksa-paksa.
Anonim (2006), pemimpin informal adalah pemimpin yang tidak diangkat secara resmi berdasarkan surat keputusan tertentu. Dia memperoleh kekuasaan / wewenang karena pengaruhnya terhadap kelompok. Apabila pemimpin formal dapat memperoleh pengaruhnya melalui prestasi, maka pemimpin informal memperoleh pengaruh berdasarkan ikatan-ikatan psikologis. Tidak ada ukuran obyektif tentang bagaimana seorang pemimpin informal dijadikan pemimpin. Dasarnya hanyalah oleh karena dia pernah benar dalam hal tertentu, maka besar kemungkinan dia akan benar pula dalam hal tersebut pada kesempatan lain. Di samping penentuan keberhasilan pada masa lalu, pemilihan pemimpin informal juga ditentukan oleh perasaan simpati dan antipati seseorang atau kelompok terhadapnya.
Walgito (2003 : 93) menyatakan bahwa, pemimpin informal adalah pemimpin yang mempunyai batas-batas tertentu dalam kepemimpinanya. Pemimpin informal adalah orang yang memimpin kelompok informal yang statusnya tidak resmi, pada umumnya tidak didukung oleh peraturan-pertaturan yang tertulis seperti pada kelompok formal. Selanjutnya Sarwono (2005 : 44 & 46), pemimpin informal dapat dikatakan sebagai ciri kepribadian yang menyebabkan timbulnya kewibawaan pribadi dari pemimpin dan merupakan bakat/sifat/karismatik yang khas terdapat dalam diri pemimpin yang dapat diwujudkan dalam perilaku kepemimpinan.
Asngari (2001 : 8 – 9) bahwa, pentingnya individu ditonjolkan dalam pendidikan/penyuluhan pada umumnya, sebab potensi pribadi seseorang individu merupakan hal yang tiada taranya untuk berkembang dan dikembangkan. Falsafah membantu diri sendiri menunjukkan dinamika pribadi SDM-klien sangat menonjol. Bagi SDM-klien yang telah mengerti kepentingan dirinya (motivasi intrinsiknya tinggi) dia aktif sendiri, tetapi bagi yang baru tumbuh motivasi ekstrinsiknya, maka [perlu dipacu oleh penyuluh agar memiliki motivasi intrinsik yang tinggi, sehingga nantinya dia lebih dinamis membantu diri sendiri. Selanjutnya Slamet (2003 : 69), dalam proses kepemimpinan tersebut pemimpin membimbing, memberi pengarahan, mempengaruhi perasaan dan perilaku orang lain, memfasilitasi serta menggerakkan orang lain untuk bekerja menuju sasaran yang diiginkan bersama. Semua yang dilakukan pimpinan harus bisa dipersiapkan oleh orang lain dalam organisasinya sebagai bantuan kepada orang-orang itu untuk dapat meningkatkan mutu kinerjanya.
Berdasarkan berbagai pengertian di atas, maka yang termasuk dalam pemimpin informal adalah pemimpin/ketua kelompok tani, karena kelompok tani merupakan suatu kelompok informal yang memiliki pembagian tugas, peran serta hirarki tertentu, serta norma yang menjadi pedoman perilaku para anggotanya. Pedoman perilaku dan kegiatan kelompok tani tersebut dijabarkan melalui keputusan musyawarah kelompok tani yang mendapat bimbingan langsung dari agen pembaruan/penyuluh.
III. PERANAN PEMIMPIN FORMAL DAN INFORMAL
DALAM PENYULUHAN
Pada tataran penyuluhan, pemimpin formal sangat baik dan sangat dibutuhkan untuk menyebarluaskan pengetahuan dan keterampilannya kepada semua warga masyarakat yang dipimpinnya. Pemimpin formal harus terbuka untuk menerima pengetahuan/keterampilan baru serta pengalaman orang lain yang bermanfaat bagi warga yang dipimpinnya, serta memiliki motivasi untuk memimpin yang tinggi dan mampu mengembangkan diri dengan pengetahuan baru, keterampilan baru, maupun untuk mengembangkan wawasan baru secara multi dispilin dan inter displin yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan tugas dan kewajiban yang harus dilaksanakan.
Peranan seorang pemimpin formal dalam penyuluhan pembangunan dapat merupakan motivator untuk pengembangan pembangunan pertanian melalui visi dan misi yang dibawa oleh agen pembaruan/penyuluh dalam membentuk perilaku SDM-klien kearah yang lebih maju dan moderen agar mereka mampu menggunakan/mengaplikasikan IPTEK sesuai dengan tujuan dari usahatani atau bisnisnya
Seseorang yang memiliki sifat dan pembawaan yang membuat orang menyukainya, akan mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk menjadi pemimpin informal dibandingkan orang lain yang tidak memiliki sifat-sifat tersebut. Pendapat-pendapat dan saran-sarannya pun akan lebih mudah diterima apabila dia memiliki sifat mudah disukai. Oleh karena itu seseorang yang mempunyai kecakapan dan pengertian terhadap kehidupan sosial serta memiliki kepribadian yang dapat memberikan popularitas sosial kepadanya, mempunyai kesempatan yang paling besar untuk menjadi seorang pemimpin informal. Dalam hal ini kepribadian yang dapat memberikan popularitas sosial kepadanya dapat diparalelkan dengan istilah kharisma.
Depositario (1987 dalam Mardikanto, 1991 : 212 - 214), seorang pemimpin dalam penyuluhan, bukanlah sekedar pemimpin yang pintar bicara, tetapi ia harus benar-benar telah memperoleh pengakuan dari seluruh anggotanya sebagai orang yang memiliki pengetahuan dan keterampilan yang handal untuk mengerjakan sesuatu dengan hasil yang baik, yang sudah dapat dibuktikannya melalui berbagai hasil karya yang baik. Disamping pengalaman, kewibawannya dan karismatiknya, seorang pemimpin informal memiliki kewajiban untuk menyampaikan dan menyebarluaskan pengetahuan serta keterampilan bagi masyarakat yang dipimpinnya.
Peranan pemimpin informal dalam penyuluhan pembangunan adalah sebagai tempat bertanya atau shering pendapat ataupun dapat bekerjasama dengan agen pembaruan/penyuluh dalam menyebarluaskan IPTEK dan informasi dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan SDM-klien. Pemimpin informal dapat saja dijadikan sasaran penyuluhan terutama pada tataran penyuluhan secara perorangan, karena biasanya para pemimpin informal ini sangat mengerti dan sangat memahami akan masalah warga masyarakat sehingga agen pembaruan/penyuluh sangat terbantu dengan adanya informasi dari mereka selain agen pembaruan tersebut memberikan informasi kepada pemimpin informal tersebut.
Mardikanto (1991 : 216) dan Asngari (2001 : 32), sebagai implementasi dari jiwa dan pengabdian seorang pemimpin formal dan informal, maka dalam proses penyuluhan pembangunan ataupun pemberdayaan kepada SDM-klien selayaknya peran dan fungsi pemimpin dapat berpedoman pada falsafah pendidikan dan kepemimpinan dari Kihajar Dewantara, yang mencakup tiga dimensi yaitu :
- Ing ngarsa sung tulada, artinya, jika dimuka seorang pemimpin harus mampu menjadikan teladan atau anutan, memiliki idealisme yang kuat, serta mampu menjelaskan cita-citanya kepada para pengikutnya. Peran agen pembaruan/penyuluh dapat memulai dengan memberi informasi/memberikan contoh tentang IPTEK, dan lain-lain yang akan dilaksanakan dalam proses penyuluhan.
- Ing madya mangun karsa, artinya, jika ditengah seorang pemimpin harus mampu dan mau memahami kehendak anggotanya, merasakan suka-dukanya, dan dapat pula merumuskan kehendak serta keinginan anggotanya untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan yang direncanakan demi terwujudnya cita-cita atau harapan/keinginan/tujuan yang ditetapkan. SDM-klien dapat bertanya, berdiskusi, serta memberikan tanggapan atas semua IPTEK ataupun informasi, dan lain-lain yang diberikan oleh agen pembaruan/penyuluh.
- Tut wuri handayani, artinya, jika dibelakang seorang pemimpin mampu mengikuti perkembangan masyarakatnya, serta mampu menjaga agar perkembangan tersebut tidak menyimpang dari nilai-nilai atau norma-norma yang telah diterima oleh masyarakat yang dipimpinnya. Seorang agen pembaruan/penyuluh harus bersifat proses mendidik dan memberikan penjelasan penguasaan materi (IPTEK, dan lain-lain) yang dipelajari sampai IPTEK, dan lain-lain tersebut dikuasai sampai SDM-klien mampu memanfaatkannya.
IV. KESIMPULAN
Setiap pemimpin, baik pemimpin formal dan informal dalam penyuluhan berkewajiban untuk melakukan fungsi dan perannya dalam menggerakkan dan membangun SDM-klien untuk mencapai tujuan penyuluhan atau pemberdayaan sesuai dengan yang direncanakan. Seorang pemimpin baik formal maupun informal selalu mendambakan pembaruan, sebab dia tau bahwa hanya dengan pembaharuan akan dapat dihasilkan mutu yang lebih baik. Oleh karena itu dia harus selalu mendorong semua orang dalam organisasinya untuk berani melakukan inovasi-inovasi, baik menyangkut cara kerja maupun barang dan jasa yang dihasilkan.
Pemimpin formal pada dasarnya harus menempatkan, jiwa dan perilakunya untuk menjaga citra kepemimpinannya dalam meningkatkan kepercayaan masyarakat yang dipimpinnya. Efektifitas dan efisiensinya seorang pemimpin formal adalah dengan mengedepankan kepentingan masyarakat di atas kepentingan pribadi dan golongannya dalam rangka mencapai tujuan yang di cita-citakan bersama. Pemimpin formal setiap saat dapat dihindari atau tidak dipercaya oleh masyarakat karena arah kebijakan dan keputusan serta program kerjanya selalu merugikan masyarakat yang dipimpinnya.
Pemimpin informal dapat saja mempunyai dampak negatif maupun positif terhadap pengikutnya ataupun kelompoknya. Dampak positif seorang pemimpin informal adalah lebih mengutamakan ideologi dan realisasi tujuan rencana kerja daripada tujuan pribadinya, sedangkan dampak negatif dari seorang pemimpin informal adalah mementingkan tujuan dirinya sendiri daripada ideologi-ideologi kelompoknya atau pengikutnya. Seringkali ideologi digunakan untuk memperoleh kekuasaan dan setelah kekuasaan itu didapatnya, maka ideologi itu ditinggalkan atau diubah sesuai dengan tujuan pribadinya sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2006. Kepemimpinan Masyarakat Adat. Modul Pemberdayaan Masyarakat Adat. http://www.ireyogya.org/adat/htm. Di akses tanggal, 20 November 2007.
Asngari, P.S. 2001. Peranan Agen Pembaruan/Penyuluh Dalam Usaha Memberdayakan (Empowerment) Sumberdaya Manusia Pengelola Agribisnis. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu Sosial Ekonomi. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor.
Darmaputera, E. 2004. Pemimpin Formal, Pemimpin Informal. Harian Umum Sore Sinar Harapan, Sabtu, 03 Juli 2004. www.sinarharapan.com. Di akses tanggal, 20 November 2007.
Mardikanto, T. 1991. Penyuluhan Pembangunan Pertanian. Sebelas Maret University Press. Surakarta.
Priyono, H.B. 2003. Kepemimpinan Republik. Harian Kompas, 1 Oktober 2003.
Slamet, M.R. 2003. Membentuk Pola Perilaku Manusia Pembangunan. Institut Pertanian Bogor. Press.
Sarwono, W.S. 2005. Psikologi Sosial, Psikologi Kelompok dan Psikologi Terapan. Balai Pustaka. Jakarta.
Walgito. B. 2003. Psikologi Sosial Suatu Pengantar. Ed. Revisi. Andi Yogyakarta.
2 comments:
makasih y infonya..
bermanfaat bgt nii bwt tugas gw
Alhamdulillah membantu saya mengerjakan tugas leadership. Terimakasih =)
Post a Comment