Oleh: Mohamad Ikbal Bahua
Koperasi
merupakan salah satu bentuk
kelembagaan di antara sekian banyak kelembagaan yang berperan dalam
pengembangan sektor pertanian. Menurut Baga (2004), mempunyai dua ciri
indentitas, yaitu adanya anggota koperasi yang merupakan owner sekaligus custumer
dari lembaga koperasi. Hal ini terlihat pada unit usaha ekonomi yang di miliki
dan di awasi secara demokratis dengan satu tujuan yaitu melayani kebutuhan
anggota.
Koperasi Unit
Desa (KUD) adalah organisasi yang berbentuk sosial ekonomi dan merupakan wahana
masyarakat pedesaan untuk mencapai harapan dalam meningkatkan kesejahteraan
hidup, pada tataran sosial, ekonomi, dan budaya. Koperasi Unit Desa (KUD) merupakan
lembaga ekonomi yang dapat membatu petani dalam pengadaan sarana produksi
pertanian, permodalan dan menjamin pemasaran produksi pertanian yang penyelenggaraannya
berdasarkan sistem demokrasi dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk
masyarakat. Berdasarkan hal tersebut, maka KUD adalah wahana para petani
mencapai harapan agar dapat meningkatkan hasil produksi pertanian sekaligus
meningkatkan kesejahteraan hidup petani di pedesaan.
Sejarah kelahiran dan berkembangnya
koperasi di negara maju (barat) dan negara berkembang memang sangat diametral.
Di barat koperasi lahir sebagai gerakan untuk melawan ketidakadilan pasar, oleh
karena itu koperasi tumbuh dan berkembang dalam suasana persaingan pasar.
Bahkan dengan kekuatannya itu koperasi meraih posisi tawar dan kedudukan
penting dalam konstelasi kebijakan ekonomi termasuk dalam perundingan
internasional. Peraturan perundangan yang mengatur koperasi tumbuh kemudian
sebagai tuntutan masyarakat koperasi dalam rangka melindungi dirinya. Di negara
berkembang koperasi dirasa perlu dihadirkan dalam kerangka membangun institusi
yang dapat menjadi mitra negara dalam menggerakkan pembangunan untuk mencapai
kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu kesadaran antara kesamaan dan
kemuliaan tujuan negara dan gerakan koperasi dalam memperjuangkan peningkatan
kesejahteraan masyarakat ditonjolkan di negara berkembang, baik oleh pemerintah
kolonial maupun pemerintahan bangsa sendiri setelah kemerdekaan. Berbagai
peraturan perundangan yang mengatur koperasi dilahirkan dengan maksud
mempercepat pengenalan koperasi dan memberikan arah bagi pengembangan koperasi
serta dukungan/perlindungan yang diperlukan.
Di Indonesia pengenalan koperasi
memang dilakukan oleh pemerintah, bahkan sejak pemerintahan penjajahan Belanda
telah mulai diperkenalkan. Gerakan koperasi sendiri mendeklarasikan sebagai
suatu gerakan sudah dimulai sejak tanggal 12 Juli 1947 melalui Kongres Koperasi
di Tasikmalaya. Pengalaman di tanah air kita lebih unik karena koperasi yang
pernah lahir dan telah tumbuh secara alami di jaman penjajahan, kemudian
setelah kemerdekaan diperbaharui dan diberikan kedudukan yang sangat tinggi
dalam penjelasan undang-undang dasar.
Shankar et al., (2002) menjelaskan bahwa secara khusus
pemerintah memerankan fungsi “regulatory” dan “development” secara sekaligus,
dimana ciri utama perkembangan koperasi di Indonesia adalah dengan pola
penitipan kepada program yaitu: (1) Program pembangunan secara sektoral seperti
koperasi pertanian, koperasi desa, KUD; (2) Lembaga-lembaga pemerintah dalam
koperasi pegawai negeri dan koperasi fungsional lainnya; dan (3) Perusahaan
baik milik negara maupun swasta dalam koperasi karyawan. Sebagai akibatnya
prakarsa masyarakat luas kurang berkembang dan kalau ada tidak diberikan tempat
semestinya.
Menurut Sharma (Noer Soetrisno, 2001), selama ini
“koperasi” dikembangkan dengan dukungan pemerintah dengan basis sektor-sektor
primer dan distribusi yang memberikan lapangan kerja terbesar bagi penduduk
Indonesia. Contoh sebagian besar KUD sebagai koperasi program di sektor pertanian di dukung
dengan program pembangunan untuk membangun KUD. Di sisi
lain pemerintah memanfaatkan KUD untuk mendukung program pembangunan pertanian
untuk swasembada beras seperti yang selama PJP I. Bahkan koperasi secara
eksplisit ditugasi melanjutkan program yang kurang berhasil ditangani langsung
oleh pemerintah bahkan bank pemerintah, seperti penyaluran kredit BIMAS menjadi
KUT, pola pengadaan beras pemerintah dan lain-lain, sehingga nasib koperasi
harus memikul beban kegagalan program, sementara koperasi yang berswadaya
praktis tersisihkan dari perhatian berbagai kalangan termasuk para peneliti dan
media masa.
Secara historis pengembangan koperasi di Indonesia yang digerakan melalui dukungan kuat
program pemerintah
yang telah dijalankan dalam waktu lama, dan tidak mudah ke luar dari kungkungan
pengalaman tersebut. Jika semula ketergantungan terhadap captive market
program menjadi sumber pertumbuhan, maka pergeseran ke arah peran swasta menjadi tantangan baru bagi
lahirnya pesaing-pesaing usaha terutama
KUD. Meskipun KUD harus berjuang untuk menyesuaikan dengan perubahan yang
terjadi, namun sumbangan terbesar KUD adalah keberhasilan peningkatan produksi
pertanian terutama pangan, di samping sumbangan dalam melahirkan kader
wirausaha di pedesaan.
Koperasi Unit Desa (KUD)
pada awal terbentuknya mempunyai visi, yaitu sebagai soko guru perekonomian
bangsa dengan menganut pola usaha bersama untuk mensejahterakan masyarakat,
karena ide dasar pembentukan koperasi sering
dikaitkan dengan pasal 33 UUD 1945, khususnya Ayat 1 yang
menyebutkan bahwa "Perekonomian di susun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan." Dalam Penjelasan UUD 1945 itu dikatakan bahwa
bangun usaha yang paling cocok dengan asas kekeluargaan itu adalah koperasi.
Strategi pola pengembangan
KUD mencirikan bahwa masyarakat Indonesia yang umunya tinggal di pedesaan dan
sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani, hidup dalam kebersamaan
ekonomi, sosial dan budaya untuk mencapai kesejahteraan hidupnya. KUD yang merupakan wadah petani di pedesaan
untuk memenuhi pengadaan sarana produksi pertanian, permodalan dan pemasaran
hasil pertanian pada kenyataannya tidak seindah visi yang dikemukakan, karena
petani di pedesaan umumnya terjerat oleh sistem ijon yang setiap saat dapat
merugikan usahatani mereka. Sistem ijon sudah merupakan wadah petani di
pedesaan untuk mendapatkan biaya produksi usahatani, walaupun petani itu
sendiri menyadari bahwa sistem ijon itu mereka tidak dapat memenuhi harapan
ekonomi keluarganya secara berkelanjutan.
KUD merupakan satu pilar
dari pengembangan ekonomi di pedesaan, pada umumnya tidak dapat memenuhi
harapan petani, karena regulasi (UU Nomor 25 tahun 1992) yang dikeluarkan oleh
pemerintah dan DPR lebih berpihak kepada kapitalis. Menurut Widiyanto (1998),
pada UU Nomor 25 tahun 1992 secara tersirat bermakna bahwa koperasi diberi peluang untuk bertindak sebagai sebuah perusahaan yang memaksimalisasikan keuntungan. Dengan adanya UU Nomor 25 tahun 1992, seolah-seolah koperasi merupakan
lembaga yang menjadi benalu dalam kehidupan petani di pedesaan. Petani semakin
sulit untuk mendapatkan sarana produksi pertanian dan tidak mempunyai akses
pasar yang jelas untuk memasarkan hasil produksinya.
Secara regulasi tentunya
pemerintah dan DPR sudah memikirkan dan merumuskan bahwa KUD dapat menjembatani
kesejangangan ekonomi para petani di pedesaan, karena telah banyak memberikan
perhatian dari segi modal usaha, baik berupa dana bergulir, dana hibah sampai
dengan pinjaman bank yang diwujudkan melalui pemberian kredit lunak pada pengembangan
teknologi tepat guna di bidang pertanian, peternakan dan perikanan.
Pertanyaannya, mengapa
kehidupan petani di Indonesia masih tetap saja tidak memperlihatkan kemajuan dan
peningkatan kehidupan ekonomi yang signifikan dengan berbagai regulasi dari
pemerintah di bidang KUD tersebut? Pertanyaan ini perlu dijawab dengan menilai,
hal-hal sebagai berikut: (1) tingkat partisipasi petani untuk menjadi anggota
KUD, (2) kesiapan infra struktur pedesaan untuk mendukung adanya lembaga
koperasi, (3) peranan lembaga penyuluhan pertanian dalam memberikan edukasi
kepada petani berdasarkan permasalahan yang mereka hadapi, (4) potensi sumber
daya manusia untuk mengelola koperasi, dan (5) eksistensi hasil produk
pertanian dan kemitraan yang dapat menjamin keberlanjutan penyelenggaraan
koperasi unit desa.
(1)
Tingkat partisipasi petani
untuk menjadi anggota KUD, sangat berhubungan dengan pengetahuan, kemauan dan
kesempatan petani untuk menjadi anggota KUD. Dari segi pengetahuan, petani
tidak terlalu banyak mengetahui fungsi koperasi unit desa untuk pengembangan
usahataninya. Petani tidak banyak mendapatkan sosialisasi akan pentingnya KUD
dalam melayani kebutuhan sarana produksi, permodalan dan pemasaran hasil
pertanian. Petani hanya menerima informasi dalam bentuk program usaha pertanian
yang mempunyai jangka waktu pelaksanaannya dan tidak sesuai dengan kemauan
mereka. Pada dimensi kemauan sangat berhubungan dengan sikap petani menjadi
anggota KUD dan mengikuti program yang dicanangkan oleh KUD. Sikap petani ini
diakibatkan oleh manajemen KUD yang tidak berpihak pada petani, terutama petani
kecil yang hanya mempunyai lahan untuk kegiatan produksi pertanian skala rumah
tangga (subsisten). Sedangkan pada dimensi kesempatan, petani pada umumnya
disibukkan dengan pekerjaan rutinitas usahatani, sehingga mereka tidak
mempunyai waktu luang untuk mengikuti perencanaan program KUD secara
partisipatif, hal ini juga disebabkan oleh pola manajemen KUD yang kurang
melibatkan petani dalam perencanaan program KUD secara berkala.
(2)
Kesiapan infra struktur
pedesaan sangat menentukan lancarnya implementasi program KUD ke tingkat
petani. Seperti: sarana transportasi, sarana komunikasi (media cetak dan
elektronik), dan sistem jaringan komputerisasi, masih terbatas di pedesaan,
sehingga menyebabkan pelayanan KUD kepada nasabah (petani) masih terbatas.
(3)
Peran lembaga penyuluhan
pertanian dalam memberikan edukasi kepada petani berdasarkan permasalahan yang
mereka hadapi masih belum menyentuh sendi-sendi kehidupan petani. Penyuluhan
pertanian masih terpola pada manajemen topdown,
sehingga petani selalu saja tergantung pada program pemerintah yang sering
tidak sejalan dengan harapan petani. Lembaga Penyuluhan pertanian melalui
sistem pendidikan non formal yang berbasis pada pendidikan orang dewasa
diharapkan dapat meningkatkan pemahaman dan keterampilan petani dalam
melaksanakan usahatani melalui sistem agribisnis dengan mengembangkan proses
adopsi dan difusi teknologi pertanian yang sesuai dengan sumberdaya lokal di
tingkat petani, sehingga dapat menunjang kemauan, pengetahuan dan kemampuan
petani untuk berpartisipasi dalam program KUD. Melalui peran lembaga penyuluhan
pertanian diharapkan akan tercipta suatu
perubahan perilaku petani dalam mengikuti setiap program KUD yang dapat
meningkatkan kesejahteraan hidup mereka secara berkelanjutan.
(4)
Potensi sumber daya manusia
untuk mengelola koperasi. Koperasi Unit Desa yang penyelenggaraannya bersifat
demokratis, dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat tentunya memerlukan
potensi sumberdaya manusia yang dapat mengelola KUD sesuai dengan sistem sosial
dan ekonomi petani di pedesaan. Pengelolaan KUD perlu diarahkan pada potensi
sumberdaya lokal dan sistem usahatani yang ada di tingkat petani. Pola
manajemen KUD ini dimaksudkan untuk meningkatkan kepedulian KUD terhadap
kebutuhan petani dan tidak mengandalkan pola manajemen keuntungan yang tidak
sesuai dengan kondisi petani. Pada dimensi ini alangkah baiknya potensi SDM
yang mengelola KUD perlu dilakukan pendidikan dan pelatihan yang berhubungan
dengan pengelolaan keuangan, pengelolaan potensi desa, dan pemahaman terhadap
perilaku sosial ekonomi petani di pedesaan.
(5)
Eksistensi hasil produk
pertanian dan kemitraan. Eksistensi pengelolaan hasil produk pertanian dan
kemitraan sangat penting dalam menunjang keberlanjutan penyelenggaraan KUD.
Fungsi KUD secara implikasinya dapat membantu petani dalam memasarkan hasil
produksi pertanian, untuk itu eksistensi dari hasil produksi pertanian tersebut
setiap saat dapat terpenuhi sebagai modal KUD dalam merencanakan program
pemasaran hasil pertanian secara kontinyu yang dapat menjamin berbagai pelaku
usaha pertanian dalam menerima hasil produksi pertanian di pedasaan secara
berkelanjutan. Adanya eksistensi hasil produksi pertanian ini KUD dapat
memberikan peluang kepada petani untuk selalu berhubungan atau bermitra dengan
pelaku usaha pertanian sesuai dengan tingkat kualitas dan kuantitas dari hasil
pertanian. KUD dapat menjembatani hubungan kemitraan tersebut dengan
mengandalkan pola manajemen yang berpihak pada petani, hal ini perlu di tempuh
dengan menjamin keberlanjutan pasokan hasil produksi pertanian dengan mengharapkan
potensi modal usaha dari pelaku usaha. Dengan demikian pola kemitraan yang di
bangun melalui KUD adalah hubungan kemitraan dengan pengusaha pertanian yang
saling menguntungkan antara pengusaha dengan petani, yang akhirnya berdampak
pada pemenuhan ekonomi petani.
Berdasarkan nilai-nilai
tersebut di atas, maka KUD diharapkan mampu berperan untuk mensejahterakan
petani di pedesaan. Peran KUD tersebut diarahkan pada pengelolaan sumberdaya lokal
di pedesaan yang menjadi bahan baku usahatani petani dalam menunjang kehidupan
ekonominya. KUD selalu memposisikan diri sebagai organisasi yang setiap saat
dapat membantu petani dalam pemenuhan sarana produksi, permodalan dan menjamin
ketersediaan akses pasar. KUD diharapkan menjadi lembaga ekonomi pedesaan yang
dapat menjembatani kesejangan antara pelaku utama dan pelaku usaha di bidang
pertanian secara berkelanjutan. Dari
dimensi pemerintah diharapkan adanya regulasi yang selalu berpihak pada rakyat
dengan mengedepankan strategi pembangunan masyarakat yang berwujud pada
pembangunan pertanian partisipatif, sehingga petani merasa dihargai dengan
potensi yang mereka miliki. Pada segi dimensi petani diupayakan adanya
partisipasi dan eksistensi mereka untuk mengikuti atau menjadi anggota KUD
secara berkelanjutan dengan segala kelebihan dan kekurangan yang ada, sehingga
para petani dapat mengetahui dan memahami arti pentningnya KUD bagi pemenuhan
ekonomi dan peningkatan kesejahteraannya. Dari dimensi lembaga penelitian
diharapkan adanya hasil-hasil penelitian yang berupa inovasi di bidang
teknologi pertanian yang dapat meningkatkan produksi pertanian di pedesaan.
Inovasi teknologi pertanian tersebut pada sisi sosial dapat di terima oleh
petani, pada sisi ekonomi dapat menguntungkan petani, dan pada sisi teknologi
inovasi tersebut dapat dilakukan oleh petani dalam meningkatkan
kesejahteraannya. Pada dimensi lembaga pendidikan (Perguruan Tinggi) diharapkan
adanya konsep-konsep pemikiran pembangunan pertanian berwawasan agribisnis yang
aplikatif melalui hasil penelitian dan pengabdian masyarakat yang secara
langsung dapat menyentuh petani di pedesaan. Pada tataran dimensi LSM (NGO)
diharapkan adanya advokasi kepada petani yang bermartabat sesuai dengan pola
kehidupan sosial masyarakat di pedesaan.
Referensi: tersedia pada file tersendiri
No comments:
Post a Comment